Sabtu, 28 November 2009

KEUTAMAAN DAN KEMULIAAN DO'A

IBADAH ( Bahagian Pertama )

1.Do'a adalah ibadah berdasarkan firman Allah :

"Artinya : Berdo'alah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".(Ghafir : 60).

Imam Hafizh Ibnu Hajar menuturkan bahwa Syaikh Taqiyuddin Subki berkata : Yang dimaksud doa dalam ayat di atas adalah doa yang bersifat permohonan, dan ayat berikutnya 'an 'ibaadatiy menunjukkan bahwa berdoa lebih khusus daripada beribadah, artinya barang siapa sombong tidak mau beribadah, maka pasti sombong tidak mau berdoa.

Dengan demikian ancaman ditujukan kepada orang yang meninggalkan doa karena sombong dan barang siapa melakukan perbuatan itu, maka dia telah kafir. Adapun orang yang tidak berdoa karena sesuatu alasan, maka tidak terkena ancaman tersebut. Walaupun demikian memperbanyak doa tetap lebih baik daripada meninggalkannya sebab dalil-dalil yang menganjurkan berdoa cukup banyak. (Fathul Bari 11/98).

Dari Nu'man bin Basyir bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Artinya : Doa adalah ibadah", kemudian beliau membaca ayat : "Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu". (Ghafir : 60).

Imam Hafizh Ibnu Hajar menuturkan bahwa Imam At-Thaibi berkata : Sebaiknya hadits Nu'man di atas difahami secara arti bahasa, artinya berdoa adalah memperlihatkan sikap berserah diri dan memerlukan Allah, karena tidak dianjurkan ibadah melainkan untuk berserah diri dan tundukkepada Pencipta serta merasa perlu kepada Allah. Oleh karena itu Allah mengakhiri ayat tersebut dengan firman-Nya : "Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu".

Dalam ayat ini orang yang tidak mau tunduk dan berserah diri kepada Allah disebut orang-orang yang sombong, sehingga berdoa mempunyai keutamaan di dalam ibadah, dan ancaman bagi mereka yang tidak mau berdoa adalah hina dina. (Fathul Bari 11/98).

Catatan : Hadits yang berbunyi : "Artinya : Doa adalah inti ibadah" (Hadits Dhaif) (Didhaifkan Al-Albani, Ta'liq 'ala Misykatul Masabiih 2/693 No. 2231)

2. Doa adalah ibadah yang paling mulia di sisi Allah

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Artinya : Tidak ada sesuatu yang paling mulia di sisi Allah daripada doa". (Sunan At-Timidzi, bab Do'a 12/263, Sunan Ibnu Majah, bab Do'a 2/341 No. 3874. Musnad Ahmad 2/362).

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa makna hadits tersebut adalah tidak ada sesuatu ibadah qauliyah (ucapan) yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa, sebab membandingkan sesuatu harus sesuai dengan substansinya. Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa shalat adalah ibadah badaniyah yang paling utama sehingga hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah. "Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu". (Al-Hujurat : 13).

3. Allah murka terhadap orang-orang yang meninggalkan doa

Berdasarkan hadits bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan memurkainya". (Sunan At-Tirmidzi, bab Do'a 12/267-268).

Imam Hafizh Ibnu Hajar menuturkan bahwa Imam At-Thaibi berkata : "Makna hadits di atas yaitu barang siapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Dia akan murka begitu pula sebaliknya Dia sangat suka apabila diminta hamba-Nya". (Fathul Bari 11/98).

Imam Al-Mubarak Furi berkata bahwa orang yang meninggalkan doa bererti sombong dan merasa tidak memerlukan Allah. Imam At-Thaibi berkata bahwa Allah sangat suka tatkala dimintai karunia-Nya, maka barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka berhak mendapat murka-Nya.

Dari hadits di atas menunjukkan bahwa permohonan hamba kepada Allah merupakan kewajiban yang paling agung dan paling utama, karena menghindar dari murka Allah adalah suatu yang menjadi keharusan. (Mura'atul Mashabih 7/358)

4. Doa mampu menolak takdir Allah

Berdasarkan hadits dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa". (Sunan At-Tirmidzi, bab Qadar 8/305-306)

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa yang dimaksud adalah, takdir yang tergantung pada doa dan berdoa boleh menjadi sebab tertolaknya takdir karena takdir tidak bertolak belakang dengan masalah sebab akibat, boleh jadi terjadinya sesuatu menjadi penyebab terjadi atau tidaknya sesuatu yang lain termasuk takdir.

Suatu contoh berdoa agar terhindar dari musibah, keduanya adalah takdir Allah. Boleh jadi seseorang ditakdirkan tidak berdoa sehingga terkena musibah dan seandainya dia berdoa, mungkin tidak terkena musibah, sehingga doa ibarat tameng dan musibah laksana panah. (Mura'atul Mafatih 7/354-355).

Syaikh Utsaimin ditanya : "Kita sering mendengar orang berdoa : Ya Allah kami tidak memohon agar takdir kami dirubah akan tetapi kami meminta kelembutan dalam takdir tersebut. Apakah doa tersebut dibolehkan .?"

Jawab : Berdoa seperti itu dilarang dan haram sebab doa boleh merubah takdir seperti yang telah disebutkan dalam hadits di atas. Bahkan orang yang berdoa seperti itu menantang Allah dan seakan mengatakan : "Ya Allah takdirkanlah kepadaku apa saja yang Engkau kehendaki tetapi berilah kelembutan dalam takdir tersebut".

Seharusnya orang yang berdoa berketetapan hati dalam doanya, seperti berdoa : Ya Allah kami memohon rahmat-Mu dan kami berlindung dari siksaan-Mu, dan doa semisalnya. Apabila seorang berdoa kepada Allah agar tidak dirubah takdirnya, maka apa manfaatnya sementara doa boleh merubah takdir, dan boleh jadi takdir tersebut hanya boleh berubah lantaran doa. Yang penting doa tersebut di atas tidak boleh dan hendaknya dihindarkan serta barangsiapa yang mendengar doa seperti itu sebaiknya menasehatinya. (Liqa' Babul Maftuh 5/45-46)

5. Orang yang paling lemah adalah orang yang tidak mampu berdoa

Berdasarkan hadits Nabi bahwasanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Orang yang lemah adalah orang yang meninggalkan berdoa dan orang yang paling bakhil adalah orang yang bakhil terhadap salam". (Al-Haitsami, kitab Majma' Az-Zawaid. Thabrani, Al-Ausath. Al-Mundziri, kitab At-Targhib berkata : Sanadnya Jayyid (bagus) dan dishahihkan Al-Albani,As-Silsilah Ash-Shahihah 2/152-153 No. 601).

Imam Manawi berkata bahwa yang dimaksud dengan 'Ajazu an-naasi adalah orang yang paling lemah akalnya dan paling buta penglihatan hatinya, dan yang dimaksud dengan Min 'ajzin 'an ad-dua'i adalah lemah memohon kepada Allah terlebih pada saat kesusahan dan demikian itu boleh mendatangkan murka Allah karena dia meninggalkan perintah-Nya .

Padahal berdoa adalah perkerjaan yang sangat ringan.(Faidhul Qadir 1/556). Ahli syair berkata. Janganlah kamu meminta kepada manusia, memintalah kepada Dzat yang pintu-Nya tidak pernah tertutup. Allah akan murka jika engkau tidak meminta-Nya, sementara manusia marah jika sering diminta. Syair di atas menjadi bantahan terhadap anggapan bahwa yang lebih baik tidak berdoa.

6. Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan berdoa

Barangsiapa yang meninggalkan doa bererti menentang perintah Allah dan barangsiapa yang melaksanakan bererti telah memenuhi perintah-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku, dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran". (Al-Baqarah : 186).

Syaikh Sa'di mengatakan bahwa ayat di atas sebagai jawaban atas pertanyaan para sahabat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mereka bertanya : Wahai Rasulullah, apakah Allah dekat sehingga kami memohon dengan berbisik-bisik ataukah Dia jauh sehingga kami memanggil-Nya dengan berteriak ? Maka turunlah ayat Allah. (Tafsir At-Thabari dan didhaifkan oleh Imam Ahmad 3/481). "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat".

Kerana Allah adalah Dzat Yang Maha Melihat, Maha Mengetahui dan Maha Menyaksikan terhadap sesuatu yang tersembunyi, rahasia dan mengetahui perubahan pandangan mata serta isi hati. Allah juga dekat dengan hamba-Nya yang meminta dan selalu sanggup mengabulkan permintaan. Maka Allah berfirman : "Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku".

Doa adalah dua macam yaitu doa ibadah dan doa permohonan. Kedekatan Allah dengan hamba-Nya terbagi dua macam yaitu ; kedekatan ilmu-Nya dengan setiap mahluk-Nya dan kedekatan dengan hamba-Nya dalam memberikan setiap permohonan, pertolongan dan taufik kepada mereka.

Barangsiapa yang berdoa kepada Allah dengan hati yang khusyu' dan berdoa sesuai dengan aturan syariat serta tidak ada penghalang diterima doa tersebut seperti makan makanan yang haram atau semisalnya, maka Allah berjanji akan mengabulkan permohonan tersebut. Apalagi bila disertai hal-hal yang menyebabkan terkabulnya doa seperti memenuhi perintah Allah, meninggalkan larangan-Nya baik secara ucapan maupun perbuatan dan yakin bahwa doa tersebut akan dikabulkan.

Maka Allah berfirman : "Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hedaklah mereka beriman kepada- Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran". Artinya orang yang berdoa akan berada dalam kebenaran iaitu mendapatkan hidayah untuk beriman dan berbuat amal shalih serta terhindar dari kejahatan dan kekejian. (Tafsir As-Sa'di 1/224-225).

7. Imam Zarkasi berkata:

Bahwa konsentrasi dalam berdoa serta menunjukkan sikap rendah, tunduk, penghambaan dan merasa memerlukan Allah adalah merupakan ibadah yang paling agung bahkan demikian itu menjadi syarat sahnya ibadah. Allah berjanji akan memberikan pahala orang yang berdoa, meskipun tidak dikabulkan doanya.

8. Berdoa adalah menyibukkan diri untuk mengingat Allah....

Sehingga timbul dalam hati rasa pengagungan terhadap kebesaran Allah dan ingin kembali kepada-Nya berhenti dari maksiat. Sering mengetuk pintu mempunyai kesempatan besar untuk masuk, sehingga ada pepatah berkata : Bahwa barangsiapa yang sering mengetuk pintu, maka suatu saat akan diberi izin masuk; sehingga dikatakan: "Diberi kesempatan berdoa lebih baik daripada diberi sesuatu".

9. Banyak berdoa boleh menghindarkan bencana dan musibah

Sebagaimana firman Allah yang mengkisahkan tentang Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam : "Artinya : Dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku". (Maryam : 48)

Dan firman Allah tentang Nabi Zakaria 'Alaihis Salam. "Artinya : Ia berkata :'Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku". ((Maryam : 4) Al5 Azhiyah fi Ahkamil Ad'iyah hal. 38-42).

10. Sebagian orang hanya berdoa....

.... sekali atau dua kali dan setelah merasa tidak dikabulkan, lalu berhenti berdoa.Jelas tindakan seperti itu adalah tindakan yang keliru bahkan dia harus terus menerus mengulangi doanya hingga Allah mengabulkannya. Dari Abu Haurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Do'a seorang hamba akan selalu dikabulkan selagi tidak memohon sesuatu yang berdosa atau pemutusan persaudaraan / kerabat, atau tidak tergesa-gesa. Mereka bertanya : Apa yang dimaksud tergesa-gesa ? Beliau menjawab : " Dia berkata ; Saya berdoa berkali-kali tidak dikabulkan, lalu dia merasa menyesal kemudian meninggalkan doa". (Shahih Muslim, kitab Dzikir wa Do'a 4/87). Menurut Imam An-Nawawi yang dimaksud menyesal adalah meninggalkan doa. (Syarh Shahih Muslim 17/52).

Maka seharusnya seorang hamba harus terus berdoa dan tidak boleh bosan serta merasa tidak dikabulkan doanya. Dalam ucapan : "Saya berdoa berkali-kali tetapi tidak dikabulkan".

Syaikh Al-Mubarak Furi mengatakan bahwa Syaikh Al-Qari berkata : "Yang dimaksud dengan kalimat tersebut adalah tidak melihat hasil doa saya. Terkadang merasa doanya lambat dikabulkan atau putus asa dari berdoa dan keduanya tercela.

Perlu diketahui, ada waktu tertentu untuk terkabulnya doa, sebagaimana yang diriwayatkan bahwa doa Musa dan Harun agar Fir'aun dihancurkan oleh Allah baru terkabul setelah empat puluh tahun. Adapun berputus asa dari rahmat Allah tidak akan terjadi kecuali atas orang-orang kafir". (Mura'atul Mafatih 7/348).

Imam Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa di dalam hadits di atas terdapat etika berdoa iaitu terus mengajukan permohonan dan tidak berputus asa dalam berdoa sebab demikian itu merupakan sebahagian dari sikap ketundukan dan penyerahan diri kepada Allah serta merasa memerlukan Allah, oleh kerana itu sebagian ulama salaf berkata : "Kami lebih takut dihalangi untuk berdoa daripada dihalangi terkabulnya doa".

Imam Ad-Dawudi berkata : "Dikhuatirkan orang yang mengatakan bahwa dia selalu berdoa tetapi tidak dikabulkan maka doanya benar-benar tidak dikabulkan, atau benar-benar tidak dikabulkan penangguhan siksa akhirat atau pengampunan dosa-dosanya".

Imam Ibnul Jauzi berkata : Ketahuilah bahwa doa orang mukmin tidak mungkin ditolak, boleh jadi ditunda pengkabulannya lebih baik atau digantikan sesuatu yang lebih maslahat dari pada yang diminta baik di dunia atau di akhirat. Sebaiknya seorang hamba tidak meninggalkan berdoa kepada Rabbnya sebab doa adalah ibadah iaitu ibadah penyerahan dan ketundukan kepada Allah". (Fathul Bari 7/348 )

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa beliau berkata : "Tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terkena sihir orang Yahudi bernama Lubaid bin A'sham, beliau berkata sehingga seakan-akan Rasulullah melakukan sesuatu padahal tidak melakukannya hingga pada suatu malam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa kemudian berdoa dan terus berdoa". (Shahih Muslim, kitab Salam bab Sihir 7/14)

Imam An-Nawawi berkata bahwa hadits di atas menekankan kepada setiap hamba tatkala tertimpa bencana atau musibah untuk memperbanyak doa dan terus berserah diri kepada Allah. (Syarh Shahih Muslim 7/14).

Dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa tatkala saya mulai bertempur saat perang Badr saya kembali dengan cepat untuk melihat apa yang dikerjakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ternyata beliau sedang bersujud dan membaca : Wahai Dzat Yang Maha Hidup dan Maha Kekal, Wahai Dzat Yang Maha Hidup dan Maha Kekal, kemudian saya kembali bertempur, lalu saya kembali lagi ke tempat Rasulullah, saya temui beliau dalam keadaan sujud, kemudian saya kembali bertempur lalu saya kembali ke tempat beliau dan saya temui masih membaca doa tersebut sehingga Allah memberikan kemenangan". (Sunan At-Tirmidzi, bab Doa 13/78. Dishahihkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 11/98)

Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Tidak ada seorang muslim berdoa kepada Allah di dunia dengan suatu permohonan kecuali Allah akan mengabulkannya atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya, selagi tidak berdoa sesuatu dosa atau pemutusan persaudaraan/ kerabat. Ada seorang laki-laki dari suatu kaum berkata : Jikalau begitu saya akan memperbanyak (doa). Beliau bersabda : '"Allah mengabulkan doa lebih banyak daripada yang kalian minta". (Sunan At-Tirmidzi, bab Doa 13/78. Dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul bari 11/98).

Hadits yang berbunyi. "Artinya : Allah mencintai orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam berdoa". (Hadits Dhaif, Al-Albani berkata dalam Silsilah Dhaifah bahwa hadits ini bathil 2/96-97).

BERSAMBUNG....

Khamis, 26 November 2009

BERAKHLAQ MULIA DI TANAH SUCI

AKHLAK

Penulis: Redaksi assalafy.org


Tidak lama lagi, sebagian saudara-saudara kita kaum muslimin pergi ke tanah suci untuk menunaikan rukun Islam yang kelima yaitu menjalankan ibadah haji ke Baitullah. Segala persiapan pun, baik fisik, mental, dan berbagai bekal lainnya tentunya sudah dilakukan oleh masing-masing calon jama’ah dalam rangka menyambut panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala ini.

Namun yang tidak kalah pentingnya bagi calon jama’ah haji adalah mempersiapkan bekal ilmu dan pengetahuan yang benar terkait dengan ibadah ini. Tidak diragukan lagi bahwa haji merupakan ibadah yang sangat besar keutamaan dan pahalanya bagi siapa saja yang menunaikannya dengan ikhlas dan benar. Ikhlas dalam menunaikannya, dan benar dalam pelaksanaan manasik sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa Sallam.

Orang yang demikianlah yang akan meraih predikat haji mabrur yang tidak ada balasan baginya kecuali Al Jannah (surga) sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa Sallam:

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.

”Umrah yang satu dengan umrah yang berikutnya akan menjadi kaffarah (penebus dosa) di antara keduanya, dan haji yang mabrur itu tidak ada balasan baginya kecuali Al Jannah.” (Muttafaqun ’Alaihi)

Di antara perkara terpenting yang harus diperhatikan oleh calon jama’ah haji dalam upayanya meraih predikat haji mabrur adalah berhias dengan adab dan akhlaq mulia saat pelaksanaan ibadah haji, diantaranya sebagai berikut:

1. Ikhlas dan niat yang jujur

Ini adalah perkara paling penting yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang hendak beribadah. Terkhusus bagi calon jama’ah haji, dia harus benar-benar mengoreksi diri apakah niatannya dalam menunaikan rukun Islam yang kelima ini sudah dilandasi keikhlasan dan niat yang jujur ataukah belum.

Seorang yang menunaikan ibadah haji tidaklah dinyatakan ikhlas kecuali saat menunaikannya hanya untuk mendapatkan pahala dan keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengharapkan jannah(surga)-Nya, dan berharap agar dosa-dosanya terhapus sehingga dia seperti seorang anak yang baru dilahirkan ibunya yang bersih dan tidak menanggung dosa apapun sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alihi wa Sallam

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ.

”Barangsiapa yang menjalankan ibadah haji karena Allah, kemudian dia tidak melakukan perbuatan keji dan fasik (maksiat), maka dia akan kembali (ke rumahnya) dalam keadaan seperti pada hari dia dilahirkan oleh ibunya (yakni tanpa dosa).” (Muttafaqun ’Alaihi)

Namun jika tujuannya untuk mendapatkan pujian orang lain, atau menginginkan popularitas dan naiknya status sosial di tengah masyarakat dengan gelaran Pak/Bu Haji, serta tujuan-tujuan lain yang sifatnya duniawi, maka sungguh ini merupakan niat yang jelek dan tidak terpuji. Apakah orang yang seperti ini keadaannya akan meraih keutamaan dan pahala ibadah haji? Tentu jawabannya tidak, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

”Mereka tidak diperintah kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya.” (Al Bayyinah: 5).

2. Mempelajari tata cara manasik yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa Sallam.

Setiap amalan ibadah –baik wudhu, shalat, puasa, haji, dan yang lainnya– jika dikerjakan dengan tata cara yang menyelisihi tuntunan Nabi Shallallahu ‘alihi wa Sallam, maka amalan tersebut tidak akan diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa Sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

”Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang bukan dari urusan (bimbingan dan tuntunan) kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)

Maka setiap calon jama’ah haji hendaknya benar-benar mempelajari rangkaian manasik yang benar dan sesuai dengan bimbingan Nabi Shallallahu ‘alihi wa Sallam agar ibadah hajinya diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kami menghimbau diri-diri kami dan saudara-saudara kami kaum muslimin untuk bersama-sama menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa Sallam dalam semua praktek ibadah, terkhusus ibadah haji, karena hal ini sangat ditekankan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa Sallam sebagaimana dalam hadits diatas dan sabda beliau Shallallahu ‘alihi wa Sallam:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ

”Wahai sekalian manusia, ambillah (dariku tata cara) manasik kalian.” (HR. Muslim, An Nasa`i, Ahmad)

3. Memilih harta yang halal

Hendaknya ibadah haji yang mulia ini dilaksanakan dari hasil harta yang halal yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan dari penghasilan yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti riba, korupsi, hasil judi dan selainnya dari bentuk penghasilan yang tidak halal, karena Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

”Sesungguhnya Allah baik, dan tidak menerima kecuali sesuatu yang baik.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, setiap calon jama’ah haji hendaknya benar-benar memperhatikan harta (uang) yang ia gunakan dalam menunaikan ibadah haji, mulai dari ONH-nya, biaya pengurusannya, sampai bekal dan uang saku yang dibawanya. Hendaknya semua itu berasal dari hasil usaha yang halal, agar ibadah hajinya diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4. Memilih teman yang baik

Perjalanan menunaikan ibadah haji tidak lepas dari mu’amalah dan pergaulan dengan orang lain karena memang haji adalah ibadah yang ditunaikan secara bersama-sama dan melibatkan orang banyak dengan watak dan karakter yang berbeda-beda.

Oleh karena itulah setiap jama’ah haji hendaknya memilih teman yang baik dan shalih yang dapat mengingatkannya ketika lupa, menasehatinya ketika berbuat kesalahan, mendorong semangat beribadahnya ketika muncul rasa malas, dan membantunya ketika sedang menghadapi masalah.

Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa Sallam bersabda:

لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ.

”Janganlah engkau berteman kecuali dengan mu’min, dan jangan ada orang yang memakan makananmu kecuali orang yang bertaqwa.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi)

5. Berakhlaq dan bermuamalah yang baik dengan sesama

Masih terkait dengan adab yang keempat di atas, sebagaimana seseorang ingin mendapatkan teman yang baik dan mendapatkan perlakuan yang baik dari sesama, maka seyogyanya untuk berusaha bermuamalah, bergaul, dan memperlakukan orang lain dengan cara yang baik pula.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan pahala yang besar bagi siapa saja yang berakhlaq demikian, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa Sallam:

فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ.

”Maka barangsiapa yang senang untuk dibebaskan dari An Nar (neraka) dan dimasukkan ke dalam Al Jannah (surga), hendaknya dia berusaha ketika datang ajalnya (meninggal) dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, serta memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang dia sendiri senang untuk diperlakukan seperti itu.” (HR. Muslim)

Para jama’ah juga hendaknya benar-benar menjaga ukhuwwah (persaudaraan) dan saling pengertian terhadap sesamanya. Sedikit maupun banyak, perselisihan dan perbedaan pendapat antar jama’ah dalam masalah tertentu pasti ada. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap tenang, lapang dada, saling menghormati, dan saling memahami dalam menyelesaikannya.

6. Menjauhi segala bentuk kemungkaran

Sudah seharusnya bagi tamu-tamu Allah Subhanahu wa Ta’ala di tanah suci untuk menjaga diri, lisan, tangan, dan seluruh angota badannya dari perbuatan yang bisa mendatangkan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

”(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al Baqarah: 197)

Sebagian ulama menafsirkan kata rafats dalam ayat tersebut sebagai larangan-larangan ketika ihram. Dan setiap perkataan yang kotor, tidak senonoh, ataupun pembicaraan yang menyangkut aurat juga termasuk rafats. Wallähu A’lam.

Sedangkan kefasikan adalah semua bentuk perbuatan dosa dan maksiat, baik yang dilakukan oleh hati, lisan, maupun anggota badan seperti sombong, merasa dirinya lebih dibanding yang lainnya, mau menang sendiri, berdusta, ghibah (menggunjing, menggosip), menyakiti dan mengganggu orang lain, dan lain sebagainya.

Hindari segala bentuk ibadah/ritual yang tidak dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa Sallam, karena semua yang baik telah dilakukan oleh Rasulullah r. Beliau Shallallahu ‘alihi wa Sallam adalah suri tauladan terbaik, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
dan karena dengan tidak mencontoh Nabi Shallallahu ‘alihi wa Sallam berarti secara tidak langsung telah menentang beliau Shallallahu ‘alihi wa Sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

”…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa Sallam) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An Nur: 63)

7. Memperbanyak amal shalih

Ini merupakan kesempatan yang sangat berharga bagi para jama’ah haji, di mana mereka berada di tempat yang suci dan dimuliakan, shalat yang dikerjakan di Al Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi dilipatgandakan pahalanya hingga seribu kali lipat. Sehingga diupayakan bagi setiap jama’ah untuk menunaikan shalat lima waktu dengan berjama’ah di Al Haramain tersebut, memperbanyak shalat sunnah dan thawaf mengelilingi Ka’bah. Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa Sallam bersabda:

مَنْ طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ أُسْبُوعًا فَأَحْصَاهُ كَانَ كَعِتْقِ رَقَبَةٍ. وَلاَ يَضَعُ قَدَمًا وَلاَ يَرْفَعُ أُخْرَى إِلاَّ حَطَّ اللَّهُ عَنْهُ خَطِيئَةً وَكَتَبَ لَهُ بِهَا حَسَنَةً.

”Barangsiapa yang thawaf di Baitullah (Ka’bah) ini tujuh putaran, maka dia seperti orang yang memerdekakan budak, dan tidaklah dia meletakkan telapak kakinya yang satu dan mengangkat telapak kakinya yang lain melainkan Allah akan menghapuskan darinya satu kesalahan dan mencatat baginya satu kebaikan.” (HR. At Tirmidzi)

Banyak berdzikir, berdo’a, dan beristighfar terkhusus di tempat-tempat mustajab hendaknya juga dilakukan oleh para jama’ah. Dan ketika masuk waktu ihram, sibukkan diri dengan memperbanyak mengucapkan talbiyah dan mengeraskannya (bagi kaum pria) dalam rangka meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa Sallam.

Semoga menjadi Haji yang Mabrur

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah, demikianlah secara ringkas adab dan akhlaq yang patut berhias dengannya saat menunaikan ibadah haji. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq-Nya kepada kita semua, terkhusus kepada calon jama’ah haji untuk bisa menjaga dan mengamalkan adab-adab tersebut, sehingga termasuk orang-orang yang meraih predikat haji yang mabrur. Amïn Yä Rabbal ‘Älamïn.

Ahad, 22 November 2009

BAHAYA HUJJAH DIBAYAR DARAH

AKHLAK

Oleh DR MOHD ASRI ZAINUL ABIDIN


SUKA mengkafir dan menyesatkan orang lain bukan akhlak muslim. Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpegang kepada asas tidak mengkafirkan individu muslim yang lain melainkan terdapat bukti yang yakin tanpa syak dan tidak keuzuran lagi yang boleh diberikan kepadanya.

Sabda Nabi s.a.w: “Sesiapa yang memanggil orang lain dengan ‘kafir’ atau ‘musuh Allah’ sedang dia tidak begitu, maka tuduhan itu kembali kepadanya (penuduh)”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Sikap suka menuduh orang lain kafir atau sesat sewenang-wenangnya merupakan penyakit jiwa yang terpendam dalam dada si penuduh yang berpunca dari keegoan, sikap pantang berbeza pendapat, suka monopoli kuasa dan suka menyalahgunakan agama.

Lebih bahaya daripada itu, sikap suka mengkafir ini akan membawa kepada perbalahan yang meruncing dalam masyarakat Islam, bahkan sering membawa kepada tumpah darah yang banyak terjadi dalam sejarah umat ini. Kebelakangan ini kita dapati ada pihak yang tidak menerima beberapa pandangan pembaharuan atau tajdid dalam masyarakat kita.

Tidak dapat menerima itu tidak menjadi masalah, kerana memang adat kehidupan untuk manusia berbeza pendapat. Tetapi apabila mereka yang enggan menerima pandangan yang dianggap berbeza dengan tradisi yang mereka pertahankan itu mula menggunakan pendekatan kafir-mengkafir dan sesat menyesat, ini amatlah merbahaya.

Antara aliran yang terkenal suka mengkafirkan orang lain ialah aliran ‘Ahbash’. Ahbash adalah aliran atau puak yang berpusat di Lebanon yang diasaskan oleh seorang lelaki habsyi atau negro yang dikenali dengan nama Abdullah al-Harari. Mereka mendakwa merekalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sejati dan sesiapa yang berbeza pendapat dengan mereka menjadi sesat atau kafir.

Dr Yusuf al-Qaradawi mengulas tentang puak ini dengan katanya: “Semenjak beberapa tahun yang lalu aku ada mendengar tentang satu jamaah yang zahir di Lebanon, ia menimbulkan masalah kepada umat Islam di sana dengan pandapat-pendapat yang pelik, menyeleweng dan pandangan-pandangan yang merbahaya dalam persoalan aqidah, fekah dan akhlak…dan yang lebih dahsyat bahayanya apabila mereka mengkafirkan setiap orang yang berbeza dengan mereka dalam kalangan umat Islam hari ini atau yang terdahulu.

Mereka mengkafirkan Syeikh al-Islam Ibn Taimiyyah, anak muridnya al-Imam Ibn al-Qayyim, dan sesiapa yang mengikut dua orang tokoh ini seperti tokoh tajdid tauhid di al-Jazirah al-Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Demikian juga mereka mengkafirkan ramai dari ulama semasa seperti al-'Allamah al-Syeikh 'Abdul 'Aziz bin Baz, Pemikir Islam Syed Qutb, dan selainnya…

Golongan Ahbash yang pelampau dan menyeleweng ini mendakwa mereka adalah dari mazhab al-Imam Abu al-Hasan al-'Asy'ariy segi aqidah, mazhab al-Imam al-Syafi’i segi Fekah, dan mengikut Tarikat al-Rifa'iyyah dalam berakhlak. Akan tetapi hakikatnya mereka amat jauh dari manhaj kesemua para imam itu samada dalam pemikiran, adab dan akhlak.

Kumpulan ini yang mulanya timbul di Lebanon, dinamakan sebagai al-Ahbash, kerana tuan milik dakwah dan pemegang bendera mereka adalah seorang lelaki dari Habashah (Ethopia) berasal dari Harara, dia mendakwa dakwahnya ini adalah dakwah yang baharu, yang hasrat utamanya ialah memecah belahkan kesatuan umat Islam, mengucar-kacirkan mereka dan menyalakan api fitnah antara barisan umat Islam dan menghalang setiap usaha untuk membantu perkembangan agama ini. (Dr Yusuf al-Qaradawi, Fatawa Muasarah 3/685-686, Dar al-Qalam).

Al-Syeikh Dr Yusuf al-Qaradawi juga menyebut: “Termasuk perkara yang pelik, mereka golongan Ahbash ini mentohmah aku ini wahhabi dan taksub dengan para imam Wahhabi, seringkali aku apabila bercakap mengambil daripada Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim dan madrasah mereka berdua, mereka (Ahbash) menuduh Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim ini menyalahi ijma' dalam persoalan ini dan itu..”. Timbalan Presiden The European Council for Fatwa and Research (ECFR), al-Syeikh Faisal Maulawi menyebut: "al-Ahbash atau (Jam'iyyah al-Masyari' al-Khairiyyah al-Islamiyyah) mereka adalah anak-anak murid al-Syeikh Abdullah al-Harari. Mereka memiliki jalan tersendiri dalam perkara akidah yang menjadikan mereka mengkafirkan umat Islam dan para ulamanya hanya kerana sebab-sebab yang remeh temeh. Sama halnya, mereka memiliki jalan tersendiri dalam perkara fekah yang berbeza dengan kebanyakan para ulama hari ini.

Perbincangan dengan mereka tidak mendatangkan faedah, kerana mereka tidak akan menerima melainkan pendangan-pandangan syeikh mereka. Jika kamu (orang yang meminta fatwa) menjauhi masjid-masjid mereka (golongan Ahbash), itulah yang lebih utama bagi mengelak berlakunya perbalahan yang tidak berfaedah”.

Kementerian Wakaf Mesir, Bahagian Dakwah pula membuat kenyataan berikut: “Maka untuk pertama kalinya muncul seorang lelaki yang pelik dari Habsyah, pelik dari segi pemikiran dan method yang diikutinya dalam menyebarkan fitnah di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Pertama kali juga tersebarnya kalimah takfir (pengkafiran) melalui lisan sebahagian mereka. Juga pertama kalinya terjadi masalah kekeluargaan lalu anak-anak mengkafirkan ayah-ayah mereka dan berlakunya persengketaan dan perpecahan antara ayah dengan anak-anak.

Pertama kalinya muncul mereka yang melampau ke atas ulama besar Ahli Sunnah wal Jamaah yang beramal dan berjuang di atas agama dengan cara yang dipenuhi dengan hasad dengki dan menghukum para ulamak sebagai kafir. Sesungguhnya al-Habasyi (pengasas Ahbash) mengkafirkan ulama besar seperti Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Sayyid Qutb, Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, Muhammad al-Ghazali dan Sayyid Sabiq. Di antara ulama Lebanon yang mereka kafirkan ialah Hassan Khalid, Subhi Salih, dan Faisal Maulawi dan banyak lagi yang mereka kafirkan dari ulamak-ulamak Al-Azhar al-Syarif” Banyak lagi fatwa para ulama mengenai kemelampauan puak Ahbash ini.

Antara perkara yang menakutkan yang digunakan oleh puak Ahbash ini, selain dari maki-hamun, cerca, fitnah dan serangan peribadi, mereka juga menggunakan pendekatan menghalalkan darah orang yang mereka musuhi.

Sebab itu di Lebanon, sebelum ini mereka begitu bermaharaja lela sehinggalah mereka dikaitkan dengan pembunuhan Presiden Rafiq Hariri. Ini apabila ‘Ulil Amri’ yang dirasakan sudah tidak dapat berkerjasama dengan mereka. Sebelum itu mereka juga mengkafirkan bekas Mufti Lebanon Hasan Khalid dan membunuhnya. Mereka menulis di dinding-dinding di Lebanon: “Katakan tidak kepada Hassan Khalid yang kafir”.

Menjadi tabiat Puak Ahbash ini suka memfitnah mengada-adakan cerita bohong dan mempersendakan gambar dan mengubah fakta. Di Malaysia, kelompok Ahbash ini ada mempunyai blog-blog mereka yang tersendiri. Pembaca boleh layari untuk melihat gelagat mereka. Mereka memenuhinya dengan maki hamun, menokok tambah gambar-gambar orang yang mereka tidak suka dan membuat berbagai pembohongan fakta yang lain.

Juga antara pendekatan yang digunakan Ahbash ialah mendampingi pihak yang berkuasa untuk menentang dan memfitnah tokoh-tokoh yang mereka tidak suka. The Assembly of Muslim Jurists in America (AMJA) menyebut bagaimana pengasas mereka Abdullah Harari berpakat menghasut pihak berkuasa Habshah sehingga menyebabkan pengetua Pusat Tahfiz al-Quran di sana di penjarakan selama 23 tahun. (http://www.amjaonline.com/ar) Pendekatan menggunakan pihak berkuasa dan mendampingi pemerintah dengan menyebarkan racun fitnah, cerca, mengkafir merupakan jalan yang dipilih oleh Ahbash di negara-negara yang mereka cuba bertapak.

Ahbash masuk ke negara kita melalui mereka yang belajar di Lebanon dan terpengaruh dengan aliran ini. Ahbash juga telah membelanjakan wang dengan menjemput tokoh-tokoh agama Malaysia ke tempat mereka serta dibekalkan buku-buku mereka. Maka sindrom ahbash ini mula merebak dengan aktif dalam masyarakat ini apabila kelompok ‘ahbash’ mendapat tempat dalam sesetengah pihak berkuasa agama dan ruang kuliah dan ceramah di masjid dan surau.

Apabila melihat kegusaran sesetengah pihak dengan gerakan pembaharuan minda agama di negara kita, kelompok ini cuba mendapatkan tempat dengan cara menjadi ‘wira’ untuk membantu sesetengah pihak yang merasa terancam.

Mereka menyalurkan bahan dan pemikiran mereka yang dikenali sebagai pemikiran mengkafirkan tokoh-tokoh ulama dan mana-mana pihak yang dianggap berbeza dengan mereka. Maka kebelakangan ini dalam media massa, seminar, masjid, surau dan selainnya kedengaran isu mengkafirkan Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab, isu wahhabi, isu Ahlus Sunnah, isu tidak terikat mazhab al-Syafi’i dan berbagai lagi.

Bukan isu-isu ini tidak wujud sebelum ini, tetapi Ahbash berjaya menyemarakkan api permusuhan dan kebencian dengan lebih dahsyat. Isu-isu ini diulas bagaikan perang jihad mesti dilakukan untuk menghapuskan sesiapa yang berbeza. Racun awal Ahbash mula menyerap. Maki hamun kedengaran di masjid dan surau.

Malangnya mereka ini mendapat ‘lesen’ bercakap. Mengfitnah, menyesat dan mengkafirkan mula dijadikan senjata. Ia amat menakutkan. Ini akan menghalang kemajuan pemikiran, lebih buruk lagi ia boleh mengundang perbalahan sengit sesama muslim.

Sebab itu Akhbar al-Watan ketika melaporkan kematian pengasas Ahbash itu menyebut: "Kelmarin (2/9/2008) Abdullah al-Harari, Pengasas dan Mursyid kerohanian bagi gerakan al-Ahbash telah meninggal dunia di Lebanon ketika umurnya 98 tahun…Al-Harari (Abdullah al-Harari) dilahirkan di Harara pada tahun 1910M, seterusnya berpindah-randah di beberapa negara Arab sebelum menetap di Lebanon pada tahun 1950M, beliau sering mengkafirkan para ulama umat Islam." (Akhbar al-Watan: Rabu 3 Ramadhan 1429, bersamaan 3 September 2008, bil. 2896 tahun kelapan).

Cuma yang agak menarik, dalam laman web YADIM pada hari kematian al-Harari menamakannya “Pejuang Ahli Sunnah wal Jamaah yang sejati”. Ini amat membimbangkan saya. Saya rasa pembaca juga demikian. Saya takut racun itu benar-benar telah memasuki masyarakat kita.

Khamis, 19 November 2009

15 LANGKAH MENINGKATKAN KEUPAYAAN MEMORI OTAK

KESIHATAN


Otak anda adalah ibarat mahkota dalaman anda dan perlu dijaga dengan baik kerana dengannya lah anda berfikir dan melakukan pelbagai tugasan di dunia ini.

Ada banyak kaedah sebenarnya untuk menjaga otak anda agar memorinya stabil dan semakin meningkat prestasinya. Cuma di sini saya akan menyenaraikan beberapa darinya yang sempat saya catatkan dari pelbagai sumber.

1. Pastikan otak kita sentiasa aktif - Otak bukanlah seperti otot, tetapi biasa membuat latihan pada otak akan menyebabkannya mengembangkan sambungan saraf yang boleh membantu meningkatkan daya memori.

2. Kurangkan tekanan - Tekanan yang terlampau walaupun tidak akan menyebabkan kepada kerosakan otak, tetapi boleh menyebabkan memori kita semakin lemah. Sehinggakan tekanan sementara pun sudah boleh menyebabkan kita hilang daya tumpuan terhadap sesuatu konsep dan pemerhatian sesuatu.

3. Komitmen - Berikan komitmen terhadap suatu tugasan dan yakinkan diri kita bahawa kita akan dapat meningkatkan keupayaan memori otak ini. Jangan lemahkan diri kita dengan berfikiran negatif dan merasakan kita tidak bagus dalam mengingati sesuatu.

4. Buat senaman selalu - Senaman yang dilakukan hari-hari boleh juga membantu kesihatan otak dengan perjalanan darah yang baik.

5. Makan makanan yang bagus dan sesuai - Makanan-makanan untuk menambah memori seperti kismis dan kurma perlu diamalkan memakannya. Kismis dan kurma juga merupakan antara makanan sunnah Nabi Muhammad S.a.w. Dan tidak lupa juga banyak herba-herba yang bagus boleh kita amalkan.

Dan elakkan makanan yang dapat mengurangkan prestasi memori otak seperti kepala ikan, organ dalaman binatang dan seumpamanya. Dan pastikan tubuh kita sihat dengan memakan makanan yang elok-elok kerana Nabi Muhammad bersabda yang bermaksud "Perut adalah rumah kepada penyakit". Otak yang sihat pada badan yang sihat.

6. Cuba latih memori dengan gambar - Ambil sekeping gambar dan perhatikan sejenak. Kemudian tutup gambar tersebut dan cuba ingat kembali apa kandungan dalam gambar tersebut. Latihkan sentiasa dengan bermacam-macam gambar.

7. Ulang-ulangkan apa-apa yang kita pelajari - Pengulangan demi pengulangan boleh membantu perkara itu untuk masuk ke dalam memori jangka panjang otak kita. "Practise makes perfect".

8. Wujudkan imej-imej yang jelas dalam otak kita - Kita akan dapat mengingat sesuatu dengan lagi mudah jika sekiranya kita dapat memvisualkannya dalam fikiran. Cuba bayangkan imej-imej yang mudah diingati, yang agak luar biasa sedikit dan seumpamanya.

9. Kategorikan apa-apa yang ingin anda ingatkan - Jika anda mengkategorikannya maka ianya tidak akan berterabur atau berserabut. Jadikan ianya sistematik , barulah proses mengingat akan jadi lebih mudah, insyaALlah.

10. Selenggarakan hidup anda - Kehidupan kita juga mesti diselenggarakan dengan baik seperti letak barang-barang di tempatnya selalu, jangan meletakkannya merata-rata atau sekejap di situ sekejap di sini. Ini akan menyebabkan otak anda bercelaru untuk mengingatinya apabila anda terdesak berkehendakkannya. Kemudian catat mana-mana perlu dan lakukan segalanya dengan bersistematik setakat yang anda mampu.

11. Cuba amalkan meditasi - Kajian telah menunjukkan bahawa mereka yang selalu mengamalkan meditasi (tafakkur) berupaya untuk fokus dengan baik dan mempunyai memori yang lebih bagus.

12. Tidur yang elok dan cukup - Dapatkan tidur malam yang selesa dan cukup iaitu sekurangnya 7 jam.

13. Berikan masa untuk anda membentuk memori - Tidak perlu tergopoh-gopoh untuk meningkatkan keupayaan memori kita. Amalkan tips-tips untuk meningkat upaya memori dengan beransur-ansur. Bagi masa kepada otak anda agar dapat membiasakan diri dengannya.

14. Belajar dari kesilapan - Cuba lah ingati apa-apa sebagai latihan dan tidak mengapa jika salah atau tersalah. Anda boleh belajar dari kesilapan tersebut dan biasanya kita akan ingat peristiwa di mana kita melakukan kesilapan.

15. Berdoa dan bertawakkal pada Allah - Doa adalah senjata mukmin dan tawakkal hanya pada Allah agar mengurniakan kita otak yang sihat dan bagus. Wallahu a'lam.

Khamis, 12 November 2009

HIKMAH DAN HUKUM IBADAH KORBAN

IBADAH


Oleh Mohd Yaakub bin Mohd Yunus


Hari raya Aidiladha merupakan salah satu dari hari kebesaran dan perayaan bagi seluruh umat Islam.

Anas bin Malik r.a berkata: Nabi s.a.w pernah datang ke Madinah sedangkan penduduknya memiliki dua hari raya. Pada kedua-duanya mereka bermain-main (bergembira) di masa jahiliah. Lali baginda bersabda:

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Maksudnya:
“Sesungguhnya ALLAH telah menggantikan kedua-duanya bagi kamu semua dengan dua hari yang lebih baik, iaitu hari raya Aidiladha dan Aidilfitri.” - Hadis riwayat al-Nasaai, di dalam Sunan al-Nasa’i, hadis no: 959.

Aidiladha juga diberi gelaran sebagai hari raya haji kerana ia diraikan ketika umat Islam mengerjakan salah satu dari amal ibadah yang termasuk di dalam rukun Islam yang lima, iaitu ibadah haji. Di samping itu, Aidiladha juga dikenali sebagai hari raya korban kerana antara syiar semasa merayakannya adalah mengorbankan haiwan seperti unta, lembu, kambing dan biri-biri.

Ibadah korban dilakukan sempena memperingati kisah pengorbanan Nabi Ibrahim a.s yang sanggup menyembelih anak kesayangannya Nabi Ismail a.s kerana taat kepada perintah ALLAH. Namun, berkat kesabaran serta ketaatan kedua-dua ayah dan anak ini maka ALLAH telah menggantikannya dengan seekor binatang ketika Nabi Ibrahim sudah bersedia menyembelih anaknya itu. Peristiwa ini telah dirakamkan oleh ALLAH sebagaimana firman ALLAH S.W.T:

“Maka ketika anaknya itu sampai (ke peringkat umur yang membolehkan dia) berusaha bersama-sama dengannya, Nabi Ibrahim berkata: Wahai anak kesayanganku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku bahawa aku akan menyembelihmu. Apakah pendapatmu? Anaknya menjawab: Wahai ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya ALLAH, ayah akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar.

Setelah kedua-duanya berserah bulat-bulat (menjunjung perintah ALLAH itu), Nabi Ibrahim merebahkan anaknya dengan meletakkan iringan mukanya di atas tompok tanah. (KAMI sifatkan Ibrahim dengan kesungguhan azamnya itu telah menjalankan perintah KAMI).

Lantas KAMI menyerunya: Wahai Ibrahim! Engkau telah menyempurnakan maksud mimpi yang engkau lihat itu. Demikianlah sebenarnya KAMI membalas orang-orang yang berusaha mengerjakan kebaikan.

Sesungguhnya perintah ini adalah satu ujian yang nyata dan KAMI tebus anaknya itu dengan seekor binatang sembelihan yang besar serta KAMI kekalkan baginya (nama yang harum) di kalangan orang-orang yang datang terkemudian.” – Surah al-Soffaat: 101-108.

Rentetan dari peristiwa ini, saban tahun ketika merayakan hari raya Aidiladha maka umat Islam menyembelih binatang-bintang korban lalu mengagih-agihkannya kepada golongan yang kurang bernasib-baik seperti orang miskin, anak yatim, orang Islam yang sedang ditimpa musibah dan lain-lain lagi.

KEUTAMAAN MENGERJAKAN IBADAH KORBAN

Ibadah korban ini memiliki keutamaan yang begitu besar bagi mereka yang mengerjakannya.

Firman ALLAH S.W.T:

“Dan KAMI jadikan unta (yang dihadiahkan kepada fakir miskin Makkah itu) sebahagian dari syiar agama ALLAH untuk kamu; pada menyembelih unta itu ada kebaikan bagi kamu. Oleh itu, sebutlah nama ALLAH (semasa menyembelihnya) ketika ia berdiri di atas tiga kakinya. Setelah ia tumbang (serta putus nyawanya), makanlah sebahagian daripadanya dan berilah (bahagian yang lain) kepada orang-orang yang tidak meminta dan yang meminta. Demikianlah KAMI memudahkannya untuk kamu (menguasai dan menyembelihnya) supaya kamu bersyukur.

Daging dan darah binatang korban atau hadiah itu tidak sekali-kali akan sampai kepada ALLAH. Tetapi, yang sampai kepada-NYA ialah amal yang ikhlas berdasarkan takwa daripada kamu. Demikianlah DIA memudahkan binatang-binatang itu bagi kamu supaya kamu membesarkan ALLAH kerana mendapat nikmat petunjuk-NYA. Dan sampaikanlah berita gembira (dengan balasan yang sebaik-baiknya) kepada orang-orang yang berusaha supaya baik amalnya.” – Surah al-Haj: 36-37.

Melalui ayat di atas dapat kita senaraikan beberapa keutamaan ibadah korban seperti berikut:

1) Ibadah korban dapat membawa kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat dengan mempereratkan hubungan kasih sayang antara golongan yang kurang bernasib baik seperti golongan fakir miskin, anak yatim, ibu tunggal dan seumpamanya dengan golongan yang bernasib baik melalui pengagihan daging-daging korban.

2) Ibadah korban berupaya membentuk insan yang bersyukur melalui penyembelihan haiwan korban yang dilakukannya dengan menggunakan hasil rezeki tersebut dalam rangka beribadah dan mendekatkan diri kepada ALLAH.

3) Ibadah korban dapat membentuk jiwa yang ikhlas kerana sejumlah wang ringgit telah dibelanjakan demi mendapat keredhaan ALLAH.

4) Ia juga merupakan bukti ketakwaan kita kepada ALLAH kerana menurut perintahnya.

5) Ibadah korban merupakan amalan mulia dan sesiapa yang menunaikan ibadah tersebut bakal mendapat ganjaran paling baik, iaitu syurga.

HUKUM IBADAH KORBAN

Para ulamak berbeza pendapat mengenai hukum melakukan ibadah korban. Ia terbahagi kepada dua pendapat, iaitu:

1. Wajib bagi yang mampu.

Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Rabi’ah al-Ra’yi, al-Auza’i, al-Laits bin Saad, salah satu dari pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan pendapat ini telah dirajihkan (dibenarkan) oleh Syeikh al-Islam Ibn Taimiyyah. Dalil-dalil yang menyokong pendapat ini adalah seperti berikut:

“Oleh itu, kerjakanlah solat kerana TUHANnmu semata-mata dan sembelihlah korban (sebagai bersyukur).” – Surah al-Kautsar: 2.

Ayat ini menggambarkan kewajipan ibadah korban sebagaimana kewajipan mengerjakan solat. Ini kerana, kedua-dua ibadah tersebut dihubungkan dengan kata penghubung wau (و) bermaksud ‘dan’ yang mana ia menunjukkan ada persamaan hukum.

Jundab bin Abdillah bin Sufyan al-Bajali r.a berkata:

صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ ذَبَحَ فَقَالَ: مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيَذْبَحْ أُخْرَى مَكَانَهَا وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ

Maksudnya:
“Nabi s.a.w solat pada hari al-Nahr (Aidiladha) kemudian berkhutbah lalu menyembelih (bintang) korbannya lantas bersabda: Sesiapa yang menyembelih sebelum solat (hari raya Aidiladha), sembelihlah yang lain sebagai penggantinya dan sesiapa yang belum menyembelih maka sembelihlah dengan nama ALLAH.” – Hadis riwayat al-Bukhari di dalam Sahih al-Bukhari, hadis no: 985.

Perintah Rasulullah s.a.w agar mengulangi ibadah korban jika ia dilakukan sebelum solat hari raya Aidiladha menunjukkan ia termasuk perkara wajib. Jika tidak, sudah pasti baginda tidak akan memerintahkan agar penyembelihan diulangi.

Menurut Abu Hurairah r.a, Rasulullah s.a.w telah bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
Maksudnya:
“Sesiapa yang memiliki kemampuan (keluasan rezeki) dan tidak menyembelih, maka jangan dekati tempat solat kami.” – Hadis riwayat Imam Ibn Majah di dalam Sunan Ibn Majah, hadis no: 3114

Hadis ini berupa ancaman bagi golongan yang memiliki kemampuan untuk menyembelih pada hari raya Aidiladha tetapi tidak mengerjakan ibadah korban. Ancaman berat ini tidak akan dikeluarkan oleh baginda melainkan ia sebagai bukti mengenai kewajipannya.

Mikhnaf bin Sulaim r.a berkata:

كُنَّا وُقُوفًا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ وَعَتِيرَةٌ. هَلْ تَدْرُونَ مَا الْعَتِيرَةُ؟ هِيَ الَّتِي تُسَمُّونَهَا الرَّجَبِيَّةَ.
Maksudnya:
“Kami bersama Rasulullah dan baginda wukuf di Arafah lalu berkata: Wahai manusia! Sesungguhnya wajib bagi setiap keluarga pada setiap tahun (mengerjakan ibadah) korban dan ‘atirah. Baginda berkata: Tahukah kalian apakah ‘atirah itu?. Iaitu yang dikatakan orang Rajabiyah (kambing yang disembelih pada bulan Rejab).” – Hadis riwayat al-Tirmizi di dalam kitab Sunan Tirmizi, hadis no: 1438.

Hadis ini jelas membuktikan bahawa ibadah korban dan ‘atirah itu diwajibkan kepada semua umat Islam yang berkemampuan. Walau bagaimanapun, hukum bagi ‘atirah telah dimansuhkan. Namun, ia tidak memansuhkan ibadah korban. Bahkan, kewajipannya masih berterusan hingga sekarang.

2. Sunat atau sunat muakkad (sunnah yang amat dituntut) bagi yang mampu.

Inilah pendapat jumhur (majoriti) ulama dan pendapat Imam Syafie r.h. Golongan ini berpegang kepada dalil-dalil seperti berikut:

Menurut Ummu Salamah r.a, Nabi s.a.w telah bersabda:

إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا

Maksudnya:
“Jika masuk sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan salah seorang daripada kamu semua ingin menyembelih (haiwan) korban, janganlah memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya.” – Hadis riwayat Muslim di dalam Sahih Muslim, hadis no: 1977.

Dalil ini menunjukkan bahawa ibadah korban tidak wajib berdasarkan kata-kata baginda ‘dan salah seorang antara kamu semua yang ingin’. Ia menggambarkan kepada kita bahawa baginda memberi pilihan kepada sesiapa sahaja sama ada untuk menyembelih atau sebaliknya. Seandainya ibadah korban itu wajib, pasti baginda memberi pilihan kepada seseorang sambil berkata: “Janganlah memotong rambut dan kukunya sehingga selesai menyembelih haiwan korban.”

Jabir r.a berkata:

شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي

Maksudnya:
“Aku menyaksikan bersama Nabi s.a.w solat Aidiladha di musolla (tanah lapang). Ketika selesai berkhutbah, baginda turun dari mimbar lalu dibawakan seekor kambing lantas Rasulullah menyembelihnya dengan tangannya sendiri sambil berkata: Bismillah wallahu Akbar (Dengan nama ALLAH dan ALLAH Maha Besar). Ini daripadaku dan daripada umatku yang belum meyembelih.” – Hadis riwayat Abu Daud di dalam Sunan Abu Daud, hadis no: 2427.

Selain itu, kata-kata baginda ‘ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih’ diungkapkan secara lafaz mutlak dan umum bukan secara khusus. Bermakna, memadai ibadah ini diwakilkan kepada seseorang sebagaimana baginda mewakili seluruh para sahabat yang masih belum melakukan korban.

Inilah dalil menunjukkan ibadah korban tidak wajib. Sekiranya ia wajib, tentu bagi mereka yang meninggalkan ibadah tersebut berhak dihukum dan tidak memadai baginda mewakilkan korbannya itu kepada seseorang.

Abu Sarihah al-Ghiffari, beliau berkata:

مَا أَدْرَكْتُ أَبَا بَكْرٍ أَوْ رَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَ عُمَرَ كَانَا لاَ يُضَحِّيَانِ – فِي بَعْضِ حَدِيْثِهِمْ – كَرَاهِيَّةَ أَنْ يُقْتَدَى بِهِمَا

Maksudnya:
“Aku mendapati Abu Bakar atau melihat Abu Bakar dan Umar tidak menyembelih (haiwan) korban – dalam sebahagian hadis mereka – khuatir dijadikan ikutan orang terkemudian.” – Hadis riwayat al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra, jil. 9, ms. 295. Syeikh al-Albani telah mensahihkan riwayat ini di dalam Irwa’ al-Ghalil, hadis no: 1139.

Seandainya ibadah korban itu wajib, pasti Abu Bakar dan Umar r.a akan mendahului umat Islam dalam melakukan ibadah korban.

Sebelum membuat rumusan tentang hukum ibadah korban, kita hendaklah fahami bahawa hukum sunat atau wajib berkaitan sesuatu ibadah hanyalah berbentuk kajian ilmiah dan bertujuan mengetahui sama ada sesuatu amalan itu dibenarkan untuk ditinggalkan ataupun tidak sahaja. Namun, bagi mereka yang mencintai sunnah Nabi s.a.w sekiranya sesuatu amalan itu tsabit daripada baginda s.a.w mereka akan berusaha bersungguh-sungguh mengerjakannya tanpa memikirkan sama ada ia wajib atau sunat.

Namun, kedua-dua pendapat tersebut memiliki hujah daripada baginda s.a.w dan seharusnya kita berlapang dada dalam permasalahan khilafiyah sebegini.

Syeikh Muhammad al-Amin al-Syingqiti r.h berkata:

“Aku telah meneliti dalil-dalil daripada sunnah mengenai pendapat yang mewajibkan dan yang tidak mewajibkan ibadah korban. Menurut pandangan kami, tidak ada satu dalil dari kedua-dua pendapat tersebut yang kuat, pasti dan selamat dari kritikan sama ada menunjukkan ia wajib atau tidak…

Yang rajih (tepat) menurutku dalam hal yang tidak jelas mengenai nas-nas dalam suatu perkara kepada suatu perkara yang lain bahkan tanpa mempunyai dalil yang kuat dan jelas ialah berusaha sedaya mungkin keluar dari khilaf dengan melakukan korban apabila mampu. Ini kerana, Nabi s.a.w bersabda: “Tinggalkanlah perkara yang ragu kepada yang tidak ragu.”

Sepatutnya, seseorang tidak meninggalkannya apabila mampu kerana menunaikannya sudah pasti menghilangkan tanggung jawabnya.” – Rujuk Kitab Adhwaa’ al-Bayaan Fi Idhah al-Quran bil Qur’an karya Syeikh Muhammad al-Amin al-Syanqiti, jil. 5 ms. 618.

Oleh itu, penulis lebih cenderung kepada pendapat jumhur (majoriti) ulama kerana mustahil Abu Bakar dan Umar r.a meninggalkan sesuatu amalan yang wajib apatah lagi mereka berdua merupakan imam yang layak manjadi ikutan dan kelayakkan mereka telah dijamin oleh Rasulullah s.a.w

Sabda Rasulullah s.a.w:

فَإِنْ يُطِيعُوا أَبَا بَكْرٍ وَ عُمَرَ يَرْتَشُدُوا
Maksudnya:
“Sekiranya mereka semua mentaati Abu Bakar dan Umar, pasti mereka mendapat petunjuk.” – Hadis riwayat Muslim di dalam Sahih Muslim, hadis no: 681

Ahad, 8 November 2009

KEPENTINGAN PERANCANGAN HARTA PUSAKA DIKALANGAN MUSLIM

KEKELUARGAAN

Oleh Syaiful


Apa itu merancang harta?

Pengurusan harta yang berkesan dan sah dari segi undang-undang yang mana bukan sekadar untuk mengurangkan kebimbangannya bahkan untuk melaksanakan hasrat terakhir seseorang mengikut undang-undang selepas kematiannya.

Kenapa kita perlu merancang?

“Kaki manusia tidak akan melangkah, pada hari pembalasan kecuali sehinggalah dia disoal tentang lima perkara:

1. Masa hidupnya – bagaimana dia menggunakan hartanya

2. Masa mudanya dan tubuhnya-bagaimanakah dia menggunakannya

3. Kekayaannya-bagaimanakah dia mendapatkan

4. bagaimanakah dia menghabiskannya?

5. Apakah dia telah amalkan pada perkara yang dia telah tahu?”

Diriwayatkan oleh At-Tarmizi.

Sumber hukum dalam Islam.

Primer (Utama)Sekunder (Kedua).

Al-Quran Maslahah Mursalah.

(Kepentingan Umum) Sunnah Urf (Adat)

Ijma’ Qiyas


Apakah sistem pembahagian harta pusaka di malaysia?

· Menyelesaikan perbelanjaan pengkebumian

· Menyelesaikan hutang hutang (dunia dan akhirat)

· Menyelesaikan tuntutan harta sepencarian

· Melaksanakan wasiat

· Membahagikan harta yang tinggal mengikut Sistem Faraid

Akibat tidak merancang harta pusaka

Jika tidak merancang harta pusaka semasa hidup, pelbagai akibat akan berlaku selepas kematian sekiranya waris waris anda:

· Tidak mengetaui ilmu tentang pengurusan harta pusaka

· Tidak mengambil berat persoalan faraid

· Tidak ambil berat halal dan haram

Bermakna sekiranya semasa hidup, anda tidak mahu merancang harta pusaka, maka saksikan akibatnya apabila meninggal dunia nanti, seperti:

· Melihat waris waris melakukan dosa kerana:

· Memakan harta secara batil

· Memakan harta anak yatim

· Memakan hak si mati yang belum dibersihkan

· Menyaksikan 1001 fitnah harta yang berlaku kerana:

Waris-waris akan saling zalim menzalimi sesama mereka

Pemegang amanah merasakan harta pusaka peninggalan si ayah adalah haknya, sedangkan dia hanya pemegang amanah

Berbagai kemelut harta yang kita tidak tahu bila kesudahannya

Berkenaan dengan perancangan harta pusaka, walaupun tidak ada ayat ayat Al Quran yang menceritakannya secara tepat melainkan ayat ayat pembahagian faraid, namun banyak ayat ayat yang mengajak kita memikirkan tetang perancangan harta pusaka ini. Sebagai contoh;

· Penyesalan orang mati, yang memohon kepada ALLAH s.w.t moga dipanjangkan umurnya kerana tidak sempat untuk berbuat kebaikan, tidak sempat hendak bersedekah, tidak sempat hendak beramal. Sedang dia alpa dengan kehidupan, tiba tiba mati datang menjemputnya. Hal ini ada diceritakan dalam firman ALLAH s.w.:

“Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan kematianku kepada satu waktu yang dekat (yang diketahui). Sekiranya demikian, nescaya aku akan dapat melakukan sedekah dan aku akan berbuat baik bersama mereka yang baik! (surah Al Munafiqun ayat 10).”

· ALLAH s.w.t sendiri ada memberitahu hamba-Nya agar bersiap sedia membuat perancangan dalam beramal agar tidak menyesal apabila kematian datang menjemput.

Sesungguhnya ALLAH s.w.t telah memberitahu kepada umatnya akan tanda-tanda kematian agar beringat. Antara tanda tandanya:

· Uban sudah bertabur

· Mata sudah kabur

· Gigi sudah gugur

· Kulit sudah kendur

· Makan nasi bubur

Banyak lagi bentuk bentuk peringatan daripada ALLAH s.w.t yang menuntut supaya beringat tentang kematian. Beringat agar berbuat kebajikan kepada waris waris terutamanya anak anak yang bakal ditinggalkan.

Yang pasti di hadapan sekarang ini, akan ketemu pada bila bila masa ialah mati. Hidup belum pasti, tetapi mati itu sudah pasti. Cuba renungkan:

· Siapa yang di pagi pagi hari berani mengatakan dia akan sempat hidup sehingga ke petang?

· Siapa yang sedang berada di pejabat berani mengatakan dia akan sempat pulang ke rumah untuk makan malam bersama ahli keluarga?

· Siapa yang sedang bertunang berani mengatakan pasti dia akan sempat berjabat tangan dengan tuan kadi tanda termeterai akad pernikahan?

· Siapa yang merasa tubuh badannya sihat kerana banyak bersenam dan banyak makan vitamin berani mengatakan pasti dia boleh hidup sehingga usia 100 tahun?

Tetapi yang sudah pasti, berapa ramai yang mengatakan sedemikian akhrinya berkesudahan dengan peristiwa sebaliknya?

· Bayi yang disangka sihat, rupanya hanya sempat hidup untuk beberapa saat

· Bakal pengantin lelaki yang sedang bersiap di malam hari, rupanya menemui ajal dalam kemalangan esok harinya ketika sedang dalam perjalanan ke rumah pengantin perempuan

· Ayah yang terlalu ingin makan malam bersama ahli keluarganya, bersama isteri dan anak anak, sedang dalam perjalanan pulang ke rumah dirompak dan dibunuh oleh manusia yang tidak berperikemanusiaan.

· Anak anak yang sedang menantikan kepulangan ibu bapanya tidak kesampaian untuk bertemu mereka kerana rentung dalam kebakaran yang tidak diduga

· Dan berbagai lagi yang semua tu membawa kita kepada penyesalan yang berpanjangan sekiranya kita enggan berfikir dan bermuhasabah.

Kadang kala kita begitu sibuk membuat perancangan ketika hidup untuk benda yang belum pasti. Untuk benda yang tidak pasti kita sanggup untuk bersusah payah, bergolok bergadai, sedangkan semua itu masih belum pasti. Maka, bagaimana pula dengan satu benda yang sudah pasti, iaitu MATI?

Memang wajar membuat perancangan dari sekarang kerana mati adalah satu perkara yang memang pasti.

Bermakna apabila disebut merancang pusaka, jangan anda katakan;

“Eleh! Aku bukannya ada harta”

“Harta yang ada pun tidak cukup, buat apa sibuk rancang yang bukan bukan.”

“Orang kaya-kaya sahaja yang kena rancang pusaka”

“Aku miskin, buat apa sibuk rancang pusaka”

“Buat apa sibuk rancang pusaka. Aku bukannya banyak harta. Hutang banyaklah!”

Merancang pusaka bukan hanya untuk orang banyak harta sahaja. Orang yang tidak ada harta tetapi banyak hutang lebih lebih lagi dituntut merancang pusaka.

Sekirannya semasa hidup anda ada berhutang dan tidak dapat melunaskan hutang piutang lalu meninggal dunia, maka bagaimana dengan nasib di alam barzakh nanti?

Bagaimana dengan nasib roh anda nanti? Oleh itu sekiranya ada berhutang, cuba berusaha mencari jalan bagaimana untuk melunaskan hutang hutang semasa hidup.

Ini juga dinamakan merancang pusaka, iaitu berusaha untuk tidak menyusahkan waris waris pada kemudian hari. Masakan anda sanggup membebani mereka dengan masalah hutang hutang anda.

“Mengikut undang undang di Malaysia, jika seseorang membuat wasiat, ini akan memudahkannya mendapat surat kuasa / pentadbir. Oleh kerana itu adalah di cadangkan semua orang Islam yang mempunyai harta membuat wasiat dan boleh disebutkan kepada ahli warisnya mengikut undang undang Islam”

(Al Marhum Prof Dato’ Hj Ahmad bin Hj Ibrahim di seminar faraid peringkat kebangsaan paa 22-23 Syaaban 1403H bersamaan 4-5 Jun 1983)

“Para alim ulama’ telah sependapat bahawa hukum menulis SURAT wasiat adalah sunat muakkad (digalakkan) dan ia boleh menjadi wajib sekiranya kita mempunyai hutang. Bermakna WAJIB kita mengamanahkan WASI untuk melunaskan hutang hutang kita serta memastikan kebajikan anak-anak (waris) kita”

Ustaz Md Ghazali Ibrahim (Kenapa Mesti Merancang Pusaka)

Sabda Rasulullah s.a.w yang berbunyi

“Orang yang malang adalah orang yang tidak sempat berwasiat.” (riwayat Ibnu Majah)

“Sesiapa yang meninggal dunia dengan meninggalkan wasiat, maka dia mati di atas jalan ini dan sunah. Dia mati dalam keadaan bertakwa, bersyahadah dan dalam keadaan diampunkan” (riwayat Ibnu Majah)

Hujjatul Islam Imamul Ghazali berkata, “setiap orang Islam hendaklah menulis surat wasiat sebelum setiap kali ingin tidur malam!”

Firman ALLAH s.w.t

“diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara makruf (ini adalah) kewajipan ke atas orang orang yang bertakwa” (surah Al Baqarah ayt 180)

Selasa, 3 November 2009

HARTA CETUS PERBALAHAN , HERET INSAN KE NERAKA

TAZKIRAH

HAJI ABDUL HADI AWANG


Dalam perkara sumpah ini kita mahu supaya mereka yang berkenaan dikenakan bala secara tiba-tiba selepas bersumpah.

Bagaimana Allah Taala tidak bersifat seperti kita kerana Dia Maha Adil dan Maha Memberi Rahmat kepada hamba-hamba-Nya.

Tidak dinafikan seringkali Allah Taala menghukum manusia di atas dunia ini lagi untuk menyedarkan mereka sebelum dia meninggal dunia, sementara ada manusia yang Allah memberi tempoh dalam masa tertentu supaya mereka berfikir dan merujuk semula kepada kebenaran.

Sebagaimana cerita yang berlaku kepada Tamimud Dari r.a yang menjadi sebab turun ayat yang lalu dan beliau memeluk Islam akhirnya setelah dia yakin bahawa ini adalah hukum Allah SWT.

Para sahabat r.anhum menjadi contoh orang yang paling bertakwa di kalangan manusia selepas Rasulullah s.a.w. Disebut dalam hadis terhadap dua orang sahabat berkelahi dalam masalah harta di hadapan Nabi s.a.w.

Masing-masing mengaku kedua-duanya mempunyai bukti. Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: "Sesungguhnya kami menghukum apa yang zahir dan Allah yang mengendalikan apa yang tersembunyi.

"Ketahuilah barang siapa yang bijak bercakap lalu dia mengambil harta orang lain dengan sebab itu, maka harta berkenaan adalah daripada api neraka."

Bila mana Nabi s.a.w menyebut demikian, kedua-dua orang sahabat yang berbalah itu mahu menyerahkan harta kepada seteru masing-masing.

Akhirnya dilakukan 'Suluh' (perdamaian) dan didamaikan di antara kedua-duanya. Apa yang berlaku kerana salah faham di antara kedua-duanya sahaja.

Peristiwa pada zaman Nabi SUlaiman a.s pula menjelaskan bagaimana seorang budak diarahkan oleh nabi itu supaya dibelah dua tubuhnya kerana tidak ada tolak ansur berlaku di antara mereka yang menunut penjagaan anak berkenaan.

Seorang di antara mereka berdua berkata: "Serahkanlah anak ini kepadanya (seorang lagi yang menuntut)." Sementara seorang lagi berkata, "belahlah anak itu, aku tidak kisah."

Nabi Sulaiman a.s membuat keputusan menyerahkan anak itu kepada yang tidak mahu anak berkenaan dibelah dua tubuhnya kerana dia dikira mempunyai perasaan belas kasihan dan menandakan budak itu adalah anaknya.

Sementara seorang lagi bukan penjaga budak itu kerana ia tidak mempunyai sifat belas kasihan.

Nabi Sulaiman a.s menyelesaikan kes berkenaan dengan kebijaksanaannya tanpa meminta kedua-dua orang terbabit bersumpah dengan nama Allah.

Adapun bersumpah dilakukan kepada orang yang bertakwa kepada Allah untuk menegaskan ketakwaan mereka.

Firman Allah yang bermaksud: "Ingatlah hari qiamat yang padanya Allah menghimpunkan rasul-rasul-Nya, lalu bertanya: "Apakah penerimaan yang diberikan kepadamu, oleh umat-umat kamu dahulu ketika kamu menyampaikan seruan agama kerana sesungguhnya Engkaulah sahaja Yang Maha Mengetahui perkara yang ghaib." (Surah al-Maidah: 109)

Allah Taala menyebut tentang peristiwa pada hari kiamat iaitulah peristiwa huru-hara di padang Mahsyar apabila seluruh manusia dalam ketakutan dan kegerunan pada hari dihimpunkan semuanya termasuklah rasul-rasul.

Apakah hubungan ayat ini, dengan ayat yang terdahulu? Hubungannya mengingatkan kepada orang yang membatalkan wasiat dan orang yang mengkhianati wasiat serta menyembunyikan apa yang diketahuinya mengenai wasiat tersebut bahawa mereke hendaklah mengingati hari kiamat.

Iilah hubungan ayat ini dengan ayat yang terdahulu sebagaimana yang disebut oleh al-Qurtubi di dalam tafsirnya.

Di dalam ayat ini, Allah mengingatkan hari kiamat dengan firman-Nya yang bermaksud: "ingatlah kamu (takutlah kamu atau dengarlah kamu) pada hari Allah menghimpunkan rasul-rasul lalu Allah berfirman kepada mereka, "apakah yang diperkenankan kepada kamu." (Surah al-Maidah : 109)

Yakni apakah jawapan umat kamu apabila kamu mengajak mereka beriman kepada-Ku termasuk serta mengikut hukum syariat-Ku."

Firman Allah yang bermaksud, "mereka itu menjawab, "tidak ada pengetahuan bagi kami." (Surah al-Maidah:109).