Ahad, 25 Julai 2010

HADIS MEMBACA YASIN MALAM JUMAAT


ILMU HADIS
Dicatat oleh : Musa Mohamad
http://hatinurani86.blogspot.com/2009/11/hadis-membaca-yasin-malam-jumaat.html

MATAN HADIS

وحدثنا أبو عبد الرحمن السلمي ، أخبرنا أحمد بن علي بن الحسن ، حدثنا أحمد بن يوسف السلمي ، حدثنا عمار بن هارون الثقفي ، حدثنا هشام بن زياد ، عن أبي هريرة ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " من قرأ ليلة الجمعة حم الدخان ويس أصبح مغفورا له " تفرد به هشام وهو هكذا ضعيف ورواه غيره عن الحسن كما مضى ذكره في سورة يس "

Maksudnya :” Sesiapa yang membaca pada malam Jumaat Surah ad-Dukhan dan Surah Yasin diampunkan baginya (dosa) “. (Syu`bah Imam Oleh Imam al-Baihaqi ).

Masalah Hadis

Di dalam hadis ini terdapat dua masalah iaitu kedua-duanya di dalam sanad hadis yang mana perawi pada sanad hadis ini di hukumkan oleh ulama Rijal sebagaimana berikut :-


i- Hasyim Bin Ziyad.

Pendapat Ulama tentangnya :

Imam az-Zahabi di dalam al-Kasyaf1, Imam Ahmad2, Abu Zar`ah dan Imam Tirmizi mengatakan Hasyim adalah seorang yang dhaif ( lemah ). Abu Daud mengatakan tidak Thiqah, Imam Bukhari3 pula mengatakan pada beliau perlu dibincangkan, Ibnu Hajar4, Abu Fatah al-Azdi dan Ali bin Husin al-Janid mengatakan Hasyim adalah Matruk, Abu Hatim ar-Razi5 dan Yahya bin Ma`in6 mengatakan Hisyam Dhaif hadisnya dan tidak bernilai pun (ليس بشئ ) dan begitu juga pendapat Imam an-Nasaie7. Imam al-A`qili8 juga memasukkan beliau di dalam kitabnya ad-dhuafa`.

ii- Ammar Bin Harun as-Saqafi.

Pendapat Ulama tentangnya :

Ibnu Hajar mengatakan beliau adalah Dhaif9, Ibnu Hibban10 Memasukkan di dalam kitabnya Thiqah dan mengatakan Umpama beliau (Ammar) banyak kesalahannya, Abi Hatim11 pula mengatakannya Matruk dan perlu meninggalkan riwayatnya, Ibnu Udai12 juga memasukkannya di dalam kitabnya Al-Kamal Fi Dhuafa dan begitu juga al-A`qili.

Dah kesemua hadis yang matannya hamper sama dengan masud hadis ini datangnya daripada kedua mereka atau salah satu daripada keduanya.

Hukum Hadis Ini

Sebagaimana kajian saya dan saya telah melihat beberapa pendapat Ulama yang mengatakan hadis ini, ada yang mengatakan palsu, Matruk dan Dhaif Jiddan. Ringkas daripada saya bahawa hadis ini termasuk di dalam hadis Dhaif yang Mardud ( tertolak beramal dengannya ).


Nota Hujung

1- Al-Kasyaf fi Ma`rifatil man lahu riwayatul fi kutubi as-Sittah, az-Zahabi, juz 2 m/s 336 no5962.
2- Ilal wa Ma`rifatul ar-Rijal, Imam Ahmad, juz 2 m/s 508 no.3344.
3- Tarikh Kabir, al-Bukhari, juz 8 m/s 199 no.2702.
4- Dalam Tazhib at-Tahzib dan Taqrib at-Tahzib, Ibnu Hajar, juz 11 m/s 36 dan juz 1 m/s 572.
5- Al-Jar wa Ta`dil, Abu Hatim ar-Razi, juz 9 m/s 58.
6- Al-Kamal Fi Dhuafa`, Ibnu Udai, juz 7 m/s 105.
7- Ad-Dhuafa` wa Matrukin, An-Nasaie, juz 1 m/s 104.
8- Ad-Dhuafa`, al-A`qili, juz 4 m/s 339 no. 1946.
9- Rujuk nota hujung no 4 dan Lisan al-Mizan, Ibnu Hajar, juz 5 m/s 331.
10- At-Thiqah li Ibnu Hibban, Ibnu Hibban, juz 8 m/s 518 no. 14782.
11- Lihat no 5, juz 6 m/s 394.
12- Lihat no 6, juz 5 m/s 75.
13- Lihat no 8, juz 3 m/s 319.

Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? “. Al-Maidah 104.

Rabu, 14 Julai 2010

DAHSYATNYA SAKARATUL MAUT

TAZKIRAH

Penulis: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan


Allah subhanahu wata’ala dengan sifat rahmah-Nya yang sempurna, senantiasa memberikan berbagai peringatan dan pelajaran, agar para hamba-Nya yang berbuat kemaksiatan dan kezhaliman bersegera meninggalkannya dan kembali ke jalan Allah subhanahu wata’ala.

Sementara hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala yang beriman akan bertambah sempurna keimanannya dengan peringatan dan pelajaran tersebut.

Namun, berbagai peringatan dan pelajaran, baik berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar’iyah tadi tidak akan bermanfaat kecuali bagi orang-orang yang beriman.

Allah subhanahu wata’ala berfiman (yang artinya):

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)

Di antara sekian banyak peringatan dan pelajaran, yang paling berharga adalah tatkala seorang hamba dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan sakaratul maut yang menimpa saudaranya. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ

“Tidaklah berita itu seperti melihat langsung.” (HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Umarradhiyallahu ‘anhu. Lihat Ash-Shahihah no. 135)

Tatkala ajal seorang hamba telah sampai pada waktu yang telah Allah subhanahu wata’ala tentukan, dengan sebab yang Allah subhanahu wata’ala takdirkan, pasti dia akan merasakan dahsyat, ngeri, dan sakit yang luar biasa karena sakaratul maut, kecuali para hamba-Nya yang Allah subhanahu wata’ala istimewakan. Mereka tidak akan merasakan sakaratul maut kecuali sangat ringan. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (yang artinya):

“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.” (Qaf: 19)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ إِلَهَ إِلاَ اللهُ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ

“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Sesungguhnya kematian ada masa sekaratnya.” (HR. Al-Bukhari)

Allah subhanahu wata’ala dengan rahmah-Nya telah memberitahukan sebagian gambaran sakaratul maut yang akan dirasakan setiap orang, sebagaimana diadakan firman-Nya (yang artinya):

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di tenggorokan, padahal kamu ketika itu melihat, sedangkan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah )? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (Al-Waqi’ah: 83-87)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya), ‘Maka ketika nyawa sampai di tenggorokan.’ Hal itu terjadi tatkala sudah dekat waktu dicabutnya.

‘Padahal kamu ketika itu melihat’, dan menyaksikan apa yang ia rasakan karena sakaratul maut itu.

‘Sedangkan Kami (para malaikat) lebih dekat terhadapnya (orang yang akan meninggal tersebut) daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat mereka (para malaikat).’ Maka Allah subhanahu wata’ala menyatakan: Bila kalian tidak menginginkannya, mengapa kalian tidak mengembalikan ruh itu tatkala sudah sampai di tenggorokan dan menempatkannya (kembali) di dalam jasadnya?” (Lihat Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 4/99-100)

Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):

“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke tenggorokan, dan dikatakan (kepadanya): ‘Siapakah yang dapat menyembuhkan?’, dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmu lah pada hari itu kamu dihalau.” (Al-Qiyamah: 26-30)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini adalah berita dari Allah subhanahu wata’ala tentang keadaan orang yang sekarat dan tentang apa yang dia rasakan berupa kengerian serta rasa sakit yang dahsyat (mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala meneguhkan kita dengan ucapan yang teguh, yaitu kalimat tauhid di dunia dan akhirat). Allah subhanahu wata’ala mengabarkan bahwasanya ruh akan dicabut dari jasadnya, hingga tatkala sampai di tenggorokan, ia meminta tabib yang bisa mengobatinya. Siapa yang bisa meruqyah? (Lihat Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim)

Kemudian, keadaan yang dahsyat dan ngeri tersebut disusul oleh keadaan yang lebih dahsyat dan lebih ngeri berikutnya (kecuali bagi orang yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala). Kedua betisnya bertautan, lalu meninggal dunia. Kemudian dibungkus dengan kain kafan (setelah dimandikan). Mulailah manusia mempersiapkan penguburan jasadnya, sedangkan para malaikat mempersiapkan ruhnya untuk dibawa ke langit.

Setiap orang yang beriman akan merasakan kengerian dan sakitnya sakaratul maut sesuai dengan kadar keimanan mereka. Sehingga para Nabi‘alaihimussalam adalah golongan yang paling dahsyat dan pedih tatkala menghadapi sakaratul maut, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ

“Sesungguhnya manusia yang berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian yang semisalnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2398 (2/64), dan Ibnu Majah no. 4023, dan yang selainnya. Lihat Ash-Shahihah no. 143)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

فَلاَ أَكْرَهُ شِدَّةَ الْمَوْتِ ِلأَحَدٍ أَبَدًا بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Aku tidak takut (menyaksikan) dahsyatnya sakaratul maut pada seseorang setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam .” (HR. Al-Bukhari no. 4446)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Para ulama mengatakan bahwa bila sakaratul maut ini menimpa para nabi, para rasul ‘alaihimussalam, juga para wali dan orang-orang yang bertakwa, mengapa kita lupa? Mengapa kita tidak bersegera mempersiapkan diri untuk menghadapinya? Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):

“Katakanlah: ‘Berita itu adalah berita yang besar, yang kamu berpaling darinya’.” (Shad: 67-68)

Apa yang terjadi pada para nabi ‘alaihimussalam berupa pedih dan rasa sakit menghadapi kematian, serta sakaratul maut, memiliki dua faedah:

1. Agar manusia mengetahui kadar sakitnya maut, meskipun hal itu adalah perkara yang tidak nampak. Terkadang, seseorang melihat ada orang yang meninggal tanpa adanya gerakan dan jeritan. Bahkan ia melihat sangat mudah ruhnya keluar. Alhasil, ia pun menyangka bahwa sakaratul maut itu urusan yang mudah. Padahal ia tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dirasakan oleh orang yang mati. Maka, tatkala diceritakan tentang para nabi yang menghadapi sakit karena sakaratul maut -padahal mereka adalah orang-orang mulia di sisi Allah subhanahu wata’ala, dan Allah subhanahu wata’ala pula yang meringankan sakitnya sakaratul maut pada sebagian hamba-Nya- hal itu akan menunjukkan bahwa dahsyatnya sakaratul maut yang dirasakan dan dialami oleh mayit itu benar-benar terjadi -selain pada orang syahid yang terbunuh di medan jihad-, karena adanya berita dari para nabi ‘alaihimussalam tentang perkara tersebut. (At-Tadzkirah, hal. 25-26)

Al-Imam Al-Qurthubirahimahullah mengisyaratkan kepada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

مَا يَجِدُ الشَّهِيدُ مِنْ مَشِّ الْقَتْلِ إِلاَّ كَمَا يَجِدُ أَحَدُكُمْ مِنْ مَشِّ الْقُرْصَةِ

“Orang yang mati syahid tidaklah mendapati sakitnya kematian kecuali seperti seseorang yang merasakan sakitnya cubitan atau sengatan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1668)

Al-Imam Al-Qurthubirahimahullah melanjutkan:

2. Kadang-kadang terlintas di dalam benak sebagian orang, para nabi adalah orang-orang yang dicintai Allah subhanahu wata’ala. Bagaimana bisa mereka merasakan sakit dan pedihnya perkara ini? Padahal Allah subhanahu wata’ala Maha Kuasa untuk meringankan hal ini dari mereka, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

أَمَّا إِنَّا قَدْ هَوَّنَّا عَلَيْكَ

“Adapun Kami sungguh telah meringankannya atasmu.”

Maka jawabannya adalah:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلاَءً فِي الدُّنْيَا اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ

“Sesungguhnya orang yang paling dahsyat ujiannya di dunia adalah para nabi, kemudian yang seperti mereka, kemudian yang seperti mereka.” (Lihat Ash-Shahihah no. 143)

Maka Allah subhanahu wata’ala ingin menguji mereka untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaan serta untuk meninggikan derajat mereka di sisi Allahsubhanahu wata’ala. Hal itu bukanlah kekurangan bagi mereka dan bukan pula azab. (At-Tadzkirah, hal. 25-26)

Malaikat yang Bertugas Mencabut Ruh

Allah subhanahu wata’ala dengan kekuasaan yang sempurna menciptakan malakul maut (malaikat pencabut nyawa) yang diberi tugas untuk mencabut ruh-ruh, dan dia memiliki para pembantu sebagaimana firman-Nya subhanahu wata’ala (yang artinya):

“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu’ kemudian hanya kepada Rabbmulah kamu akan dikembalikan.” (As-Sajdah: 11)

Asy-Syaikh Abdullah bin ‘Utsman Adz-Dzamari hafizahullah berkata: “Malakul maut adalah satu malaikat yang Allah subhanahu wata’ala beri tugas untuk mencabut arwah para hamba-Nya. Namun tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa nama malaikat itu adalah Izrail. Nama ini tidak ada dalam Kitab Allah subhanahu wata’ala, juga tidak ada di dalam Hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):. Allah subhanahu wata’ala hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):

“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu’.” (As-Sajdah: 11)

Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata: “Ayat ini tidak bertentangan dengan firman Allah subhanahu wata’ala (yang artinya):

“Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.” (Al-An’am: 61-62)

Karena malakul maut yang bertugas mencabut ruh dan mengeluarkan dari jasadnya, sementara para malaikat rahmat atau para malaikat azab (yang membantunya) yang bertugas membawa ruh tersebut setelah keluar dari jasad. Semua ini terjadi dengan takdir dan perintah Allah subhanahu wata’ala, (maka penyandaran itu sesuai dengan makna dan wewenangnya).” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 602)

Wallahu a’lam bish showab.


Sumber: http://asysyariah.com/print.php?id_online=807

Selasa, 13 Julai 2010

HUKUM WUDHU' YANG MENYENTUH PEREMPUAN

ILMU FEQH


MUQADDIMAH

Dalam siri sebelum ini, secara ringkas para pembaca telah diterangkan berkenaan salah satu bentuk dalam disiplin ilmu taujih qiraat iaitu taujih fiqhi. Para pembaca juga dapat melihat secara umum berkenaan hubungan antara ilmu qiraat dan fiqh Islam serta manhaj fuqaha' ketika berhujah dengan ilmu qiraat.

Pada kali ini penulis cuba membawa ke hadapan para pembaca contoh perbezaan qiraat pada ayat al-Quran yang menjadi dalil kepada para ulama fiqh bagi menetapkan atau mensabitkan mazhab mereka terhadap sesuatu hukum.

HUKUM WUDHU' BAGI YANG MENYENTUH PEREMPUAN

Para ulama fiqh telah berselisih pendapat berkenaan hukum wudhu' bagi lelaki yang menyentuh perempuan. Perbezaan ini berpunca daripada ) pada ayat 43 Surah لامَسْتُم perbezaan qiraat yang terdapat pada kalimah ( al-Nisaa serta ayat 6 Surah al-Maidah. Nas di dalam Surah al-Nisaa ialah;

یَا أَیُّھَا الَّذِینَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِیلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُو ا
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَیَمَّمُوا صَعِیدًا طَیِّبً ا
فَامْسَحُوا بِوُجُوھِكُمْ وَأَیْدِیكُمْ إِنَّ اللَّھَ كَانَ عَفُ  وا غَفُورًا

BACAAN QIRAAT

Bacaan pertama yang diriwayatkan oleh jumhur qurra' iaitu Imam Nafi, Ibnu Kathir, Abu `Amr, Ibnu `Amir, `Asim, Abu Ja'far dan Ya`qub al-Hadhrami; لامَسْتُم.( dengan mengisbatkan alif )
Bacaan kedua yang diriwayatkan oleh Imam Hamzah, al-Kisa'ei dan Khalaf لمَسْتُم.( al-`Asyir; dengan menghazafkan alif )

MAKNA DI SEBALIK PERBEZAAN QIRAAT

) membawa maksud al-Mulamasah لامَسْتُم Bacaan pertama dengan isbat alif ( mengikut wazan al-Mufa`alah yang memberi makna kinayah atau sindiran kepada makna jima' di mana ia menunjukkan perbuatan ini saling berlaku antara dua pihak. Kita akan dapat melihat uslub kinayah ini di dalam al- Quran khasnya apabila menerangkan perihal hubungan suami isteri seperti ayat 223 Surah al-Baqarah. Di sini al-Quran memperlihatkan kepada kita ketinggian akhlak dan adab yang baik. Imam al-Alusi dalam tafsirnya Ruuh al-Ma`ani telah menakalkan kalam Ibnu `Abbas sebagai berkata;

Sesungguhnya Allah Maha Mulia telah mengkinayahkan berkenaan jima' االرفث ، الملامسة المباشرة ، التغشي ، الإفضاء ) ).dengan kalimah ), ia mengandungi dua لمَسْتُم Adapun bacaan kedua dengan membuang alif ( makna. Pertama; segala jenis sentuhan melainkan jima' seperti memegang,
meraba, mencium dan lain-lain yang seerti dengannya. Kedua; ia juga memberi makna jima'.

KESAN PERBEZAAN QIRAAT TERHADAP FIQH

Telah berlaku khilaf di kalangan fuqaha' berkenaan hukum wudhu' adakah ianya terbatal sekiranya menyentuh kulit perempuan. Punca perselisihan ini adalah daripada perbezaan bacaan qiraat mutawatir pada ayat di atas.

Berikut secara ringkas pandangan ulama dalam hal ini;

1) Pandangan Imam Abu Hanifah

Di sisi beliau, perbuatan lelaki menyentuh perempuan tidak sekali-kali membatalkan wudhu' sama ada sentuhan itu disertai dengan syahwat atau pun tidak dan sama ada sentuhan itu terhadap perempuan ajnabi atau pun mahram.

2) Pandangan Imam Malik dan Imam Ahmad

Di sisi mereka pula, sentuhan lelaki terhadap perempuan akan membatalkan wudhu' sekiranya sentuhan itu disertai syahwat. Sekiranya sentuhan itu tidak mengandungi syahwat maka ia tidak membatalkan wudhu'.

3) Pandangan Imam as-Syafi`ei

Di sisi beliau pula, sentuhan lelaki terhadap perempuan tanpa berlapik akan membatalkan wudhu' tanpa mengira ia disertai syahwat atau pun tidak. Akan tetapi hukum ini terkecuali sentuhan kepada mahram.

ASAS KHILAF DI KALANGAN FUQAHA'

Perselisihan pendapat di kalangan fuqaha berdasarkan bacaan qiraat pada ) dapat dilihat daripada beberapa aspek seperti berikut; لامَسْتُم kalimah ( ) itu sendiri. 1لامَسْتُم ) Aspek perbezaan qiraat mutawatir pada kalimah

Terdapat 2 bacaan qiraat pada kalimah ini iaitu; qasr dan mad atau dengan istilah lain; hazaf dan isbat.

Bacaan secara qasr atau hazaf memberi makna bahawa sentuhan samada tangan, sentuhan kulit atau ciuman akan membatalkan wudhu'. Sentuhan ini juga hanya berlaku dari satu pihak.

Bacaan secara mad atau isbat pula memberi makna jima' kerana ia disifatkan sebagai perbuatan saling sentuh menyentuh antara dua pihak. Oleh itu, perbuatan selain jima' yang bersifat sentuhan tidak akan membatalkan wudhu' selagi mana tidak keluar air mani yang mewajibkan
mandi dan wudhu'.

2) Aspek " Isytirak Lafzi " pada makna اللمس al-Lams

Makna hakikat bagi ( al-Lams ) ialah perbuatan melekapkan tangan pada sesuatu dengan tujuan menyentuh. Adapun makna kinayah bagi kalimah ini pula ialah jima'. Seperti mana yang telah dijelaskan sebelum ini, uslub kinayah ini merupakan di antara sekian banyak uslub al-Quran yang memperlihatkan adab dan akhlak khasnya apabila memperkatakan sesuatu yang ada hubungkait dengan perempuan.

Oleh itu, al-Quran tidak secara terang-terangan menggunakan lafaz jima' tetapi memadai dengan lafaz ( al-Lams ) ini. Bahkan realiti bangsa Arab sering menggunakan uslub hakikat (makna hakiki), majaz dan kinayah dalam pertuturan mereka. Kadangkala mereka menggunakan kalimah ( al-Lams ) untuk menunjukkan perbuatan menyentuh dngan tangan, manakala di waktu yang lain mereka menggunakannya sebagai kinayah kepada jima'. Akibat daripada penggunaan ini baik di dalam al-Quran atau pertuturan bangsa Arab, maka berlakulah khilaf di kalangan ulama terhadap hukum ini;

1) Mazhab Hanafi : Sentuhan yang mewajibkan wudhu' adalah sentuhan yang bermaksud jima' sahaja.

2) Mazhab Syafi`ei : Sentuhan yang mewajibkan wudhu' adalah sentuhan yang bermaksud dengan tangan atau kulit. Mereka berdalilkan makna zahir (hakiki) pada ayat tersebut.

3) Mazhab Maliki, Hanbali dan yang sepakat dengan mereka : Sentuhan yang mewajibkan wudhu' adalah sentuhan tangan yang disertai syahwat. Ini disebabkan kerana mereka memandang dari sudut ayat umum yang telah dikhususkan maka mereka mensyaratkan adanya syahwat.

4) Mazhab Ibnu Hazm az-Zohiri : Sentuhan yang mewajibkan wudhu' adalah sentuhan tangan tanpa disertai syahwat. Tetapi sentuhan ini umum terhadap mana-mana perempuan samada mahram atau ajnabi, tua atau muda. Ini disebabkan kerana mereka memandang dari sudut ayat umum yang tetap kekal umum tanpa dikhususkan.

Kesimpulan khilaf ini ialah adakah lafaz yang berdasarkan bacaan hazaf ( al-Lams ) ini membawa makna hakiki iaitu sentuhan tangan atau makna kinayah ? Adakah jima' pula boleh dikira sebagai makna hakiki berdasarkan bacaan isbat ? Oleh itu, ia berkisar antara makna hakiki, majaz dan kinayah.

3) Aspek pada umumnya berlaku bertentangan antara ayat wudhu' dengan beberapa hadis Nabi SAW.

Di sini seolah-seolah secara zahirnya berlaku bersalahan antara makna umum ayat wudhu' dengan hadis Nabi SAW yang terbukti sabit atau sahih dari baginda seperti peristiwa Saidatina `Aisyah memegang kaki Nabi SAW ketika baginda sedang sujud dalam solat di mana baginda mungkin tidak memperbaharui wudhu'nya.

Contoh hadis itu seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (Kitab Solat; Bab apa yang mesti dibaca ketika ruku' dan sujud, hadis no 222/486), Imam at-Turmuzi (Kitab Doa-doa; bab 76, hadis no 3493 ) dan Imam al-Baihaqi (Kitab Toharah; Bab apa yang datang pada orang yang disentuh) :

روي عن عائشة رضي الله عنھا – قالت : فقدت رسول الله صلى الله علیھ وسلم لیلة من الفراش فالتمستھ
فوقعت یدي على بطن قدمیھ وھو في المسجد وھما منصوبتان وھو یقول : اللھم إني أعوذ برضاك من سخطك
وبمعافاتك من عقوبتك وأعوذ بك منك لا أحصي ثناء علیك أنت كما أثنبت على نفسك

Antara hadis lain ialah seperti diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'ie (Bab batal wudhu' dengan sebab sentuhan lelaki terhadap perempuan tanpa syahwat berdasarkan sanad al-Qosim dari `Aisyah) :

روي عن عائشة رضي الله عنھا – قالت : كان رسول الله صلى الله علیھ وسلم یصلي وأنا معترضة بین یدیھ
اعتراض الجنازة حتى إذا أراد أن یوتر مسني برجلھ
Oleh itu sebahagian ulama telah menjadikan hadis-hadis sahih ini sebagai dalil untuk menguatkan pandangan mereka berkenaan hukum wudhu' di samping hujah mereka dari al-Quran berdasarkan bacaan qiraat yang mutawatir pada ayat wudhu' di atas.

TARJIH KE ATAS KHILAF YANG ADA

Berdasarkan perbincangan di atas, jelas kepada kita bahawa kedua-dua لامَسْتُم ( bacaan qiraat mutawatir (bacaan isbat dan hazaf) pada kalimah ( pada ayat 43 Surah al-Nisaa serta ayat 6 Surah al-Maidah membawa kepada dua hukum syarak yang berbeza seperti yang diistinbatkan oleh ulama fiqh dalam mazhab mereka berkenaan hukum wudhu'.

Oleh itu, sebahagian ulama telah mentarjih atau memilih pandangan yang menyatakan bahawa sentuhan lelaki terhadap perempuan tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu', manakala sentuhan yang disertai syahwat akan membatalkan wudhu'. Pandangan ini merupakan pandangan yang paling sederhana dan paling dekat dengan manhaj Islam iaitu " at-Taisir ".

Pandangan ini juga telah mengambil pendekatan menggabungkan kedua-dua qiraat mutawatir tanpa meninggalkan salah satu daripadanya. Di samping itu, ia juga merupakan pandangan jumhur ulama seperti yang dinyatakan oleh Ketua Ikatan Ulama Syam; Doktor Wahbah az-Zuhayli dalam kitabnya al-Wajiiz Fi al-Fiqh al-Islami.

والله تعالى أعلى وأعلم

Sumber Rujukan:

1) Al-Quran al-Karim
2) Muhadharat Fi Taujih al-Qiraat (Nota kuliah tahun satu); Dr. Abdul Karim
Ibrahim Soleh. Pensyarah Bahagian Tafsir Kuliah Al-Quran & Al-Qiraat Al-
Azhar Tanta
3) Syarah Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtasid; Dr. Abdullah al-
`Abadi. Cetakan Darus Salam Kaherah.
4) Al-Wajiiz Fi Al-Fiqh Al-Islami; Dr. Wahbah az-Zuhayli. Cetakan Darul Fikr
Beirut.