Selasa, 26 November 2013

Sayyidul Istighfar (Penghulu Istighfar)

 Sayyidul Istighfar


Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan teladan bagi orang-orang beriman dalam segala hal. Beliau teladan dalam hal dzikrullah (mengingat Allah). Sehingga suatu ketika Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu’anha pernah memberi kesaksian.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ



Aisyah radhiyallahu’anha berkata: ”Nabi shollallahu ’alaih wa sallam senantiasa mengingat Allah dalam setiap keadaan.” (HR Bukhary 558)

Lalu dalam hadits yang lain putera Umar bin Khattab radhiyallahu’anhuma bersaksi bahwa beliau benar-benar menghitung dalam satu kali duduk dalam suatu majelis Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam tidak kurang dari seratus kali memohon ampun dan bertaubat kepada Allah.

Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata: “Sesungguhnya kami benar-benar menghitung dzikir Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam dalam satu kali majelis (pertemuan), beliau mengucapkan 100 kali (istighfar dalam majelis): “Ya Rabb, ampunilah aku, terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Menerima Taubat dan Maha Penyayang.” (HR Abu Dawud 1295)

Kebiasaan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam berdzikir mengingat Allah dalam setiap keadaan serta memohon ampunan Allah menunjukkan betapa seriusnya beliau dalam upaya menjalin hubungan dengan Allah Rabbul ‘aalamien. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam tidak ingin melewatkan sesaatpun tanpa mengingat Allah dan memohon ampunanNya. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ingin menunjukkan kepada para pengikutnya bahwa seorang yang mengaku beriman sudah sepatutnya memperbanyak mengingat Allah. Sebab semakin sering mengingat Allah berarti akan semakin tenteram hati seseorang.


الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ


”(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingai Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS Ar-Ra’du ayat 28)

Ketenteraman Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan orang-orang beriman muncul ketika sedang mengingat Allah. Dan Allah menyuruh orang-orang beriman untuk mengingat Allah sebanyak mungkin. Tidak seperti orang-orang munafik yang tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali. Mereka tidak merasa perlu untuk sering apalagi banyak mengingat Allah. Mereka mengerjakan sholat dengan kemalasan dan dengan niyat untuk dilihat dan dipuji manusia. Pada hakikatnya orang-orang munafik kalaupun mengingat Allah, maka mereka hanya dzikir dengan jumlah yang sangat sedikit dan tidak berarti.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرً

”Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS Al-Ahzab ayat 41)

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى
الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

”Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS AN-Nisa ayat 142)

Lalu Nabi shollallahu ’alaih wa sallam merupakan hamba Allah yang gemar memohon ampunan Allah dan bertaubat kepadaNya. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ingin mendidik ummatnya agar selalu menghayati bahwa manusia selalu dalam keadaan banyak berbuat dosa. Sehingga manusia selalu membutuhkan ampunan Allah. Manusia selalu dalam keadaan cenderung menyimpang dari jalan yang lurus. Sehingga manusia perlu untuk selalu bertaubat (kembali) kepada Allah dan jalan Allah.

Maka Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengajarkan suatu lafal doa yang disebut Sayyidul Istighfar (Penghulu Istighfar). Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memotivasi orang-orang beriman melalui lafal doa Sayyidul Istighfar. Barangsiapa yang setiap hari membiasakan dirinya membaca doa tersebut dengan penuh keyakinan, maka Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjamin pelakunya sebagai penghuni surga di akhirat kelak.

Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Penghulu Istighfar ialah kamu berkata: 
“Allahumma anta rabbi laa ilaha illa anta kholaqtani wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu a’udzubika min syarri ma shona’tu abu-u laka bini’matika ‘alaiyya wa abu-u bidzanbi faghfirli fa innahu laa yaghfirudz-dzunuuba illa anta (Ya Allah, Engkau adalah Rabbku. Tiada ilaha selain Engkau. Engkau telah menciptakan aku, dan aku adalah hambaMu dan aku selalu berusaha menepati ikrar dan janjiku kepadaMu dengan segenap kekuatan yang aku miliki. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan perbuatanku. Aku mengakui betapa besar nikmat-nikmatMu yang tercurah kepadaku; dan aku tahu dan sadar betapa banyak dosa yang telah aku lakukan. Karenanya, ampunilah aku. Tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau).” Barangsiapa yang membaca doa ini di sore hari dan dia betul-betul meyakini ucapannya, lalu dia meninggal dunia pada malam harinya, maka dia termasuk penghuni surga. Barangsiapa yang membaca doa ini di pagi hari dan dia betul-betul meyakini ucapannya, lalu dia meninggal dunia pada siang harinya, maka dia termasuk penghuni surga.” (HR Bukhary 5831)

Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hambaMu yang gemar mengingatMu, gemar memohon ampunanMu dan gemar bertaubat (kembali) ke jalanMu. Amin ya Rabb.-

PENGERTIAN DAN MAKLUMAT HADIS

 


Kitab-Kitab Hadis
Hadis-hadis Nabi saw yang terdiri daripada tutur kata, perbuatan, pengiktirafan (taqrir) dan sifat baginda Rasulullah saw telah pun dikumpul di zaman lalu. Para ulama zaman silam sudah pun membukukan dengan menggunakan kaedah-kaedah penyaringan yang telah disepakati para ulama’. Cara pengumpulannya melalui beberapa cara, antaranya;

1. Masanid

Ia adalah kata jamak dari perkataan musnad iaitu, kitab yang mengandungi hadis-hadis Nabi saw berdasarkan riwayat seseorang sahabat yang meriwayatkannya. Bagaimanapun tidak diambil kira samada hadis tersebut berstatus sahih atau daif.

Nama-nama sahabat itu disusun samada mengikut tertib keislaman mereka atau dengan cara mengikut susunan abjad ataupun dengan cara mengikut kabilah, negara kelahiran serta nama keluarga dan selainnya.

Contoh : Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241H), Musnad Abu Daud Al-Thayalisi (wafat 203H), Musnab ‘Ubaidullah bin Musa (wafat 213H) dan banyak lagi musnad-musnad yang lain.

2. Musannafat 

Ia adalah kata jamak dari musannaf, merupakan kitab hadis yang disusun secara ringkas dalam beberapa bab fiqh dan agama yang tidak lengkap dan tidak secara khusus. Topik yang dibentangkannya tidak lengkap seperti kitab Jamik yang merangkumi semua topik agama dan tidak juga lengkap dalam topik fiqh sepertimana kitab Sunan.

Contoh : Musannaf oleh Waki’ bin al-Jirah (wafat 197H), Hammad bin Salamah (wafat 167H) dan beberapa lagi.

Di dalam musannafat ini pelbagai hadis yang bertaraf marfuk. mauquf dan juga maqthu’.

3. Sihah

Ia adalah kata jamak dari sahih dan merupakan kitab hadis yang disusun berdasarkan himpunan hadis-hadis yang paling sahih dengan mengeluarkan semua hadis-hadis yang lemah dan tidak menepati syarat hadis sahih.

Contoh : Imam al-Bukhari (wafat 256H), Imam Muslim (wafat 261H).

Kedua kitab ini telah menjadi panduan dan rujukan kitab-kitab hadis yang paling utama selepas itu samada dari sudut manhaj atau kesahihannya.

4. Jamik

Ia adalah kitab hadis yang dikumpulkan setiap hadis menurut topik yang lebih besar dikenali sebagai kitab, seperti kitab akidah, kitab iman, kitab adab, kitab musafir dan sebagainya.

Contoh : Jamik al-Sahih – Imam al-Bukhari, Jamik Sunan - Imam al-Tirmidzi (wafat 279H), Jamik al-Saghir – Sufyan al-Tsauri (wafat 161H).

5. Sunan

Ia merupakan kitab hadis yang ditulis dengan cara urutannya didasarkan pada tajuk-tajuk fiqh menurut ahli fiqh seperti dimulakan dengan bab ilmu, bab iman, bab bersuci, bab solat, bab zakat, bab puasa dan lain-lain.

Kurun ketiga yang merupakan kemuncak kegemilangan keilmuan Islam telah menyaksikan banyak hasil pengumpulan hadis dalam bentuk sunan, antaranya;

Contoh : Sunan Abu Daud (wafat 275H), Sunan Ibnu Majah (wafat 273H), Sunan al-Nasa’I (wafat 303H) dan lain-lain.

Keempat-empat kitab sunan yang masyhur di kalangan umat Islam adalah Jamik Sunan al-Tirmidzi, Sunan Abu Daud, Sunan Ibn Majah dan Sunan al-Nasa’i.

(Rujukan : Sejarah Perkembangan Hadis – Rosli Mokhtar dan Mohd Fikri Che Hussain)

Isnin, 18 November 2013

PENGERTIAN HIJRAH

Oleh : Waiman cakrabuana


1- Arti Hijrah Menurut Bahasa

Hijrah berasal dari bahasa arab “ هِجْرَة” yang artinya: (1) pindah, menjauhi atau menghindari. (2) Kerasnya sesuatu (الهجر الهجير الهاجرة); berarti tengah hari di waktu panas sangat menyengat (keras).
Secara bahasa “Hijrah” itu adalah Menjauhi sesuatu dengan sangat keras karena adanya ketidak setujuaan dan kebencian

2- Arti Hijrah dalam penggunaan Redaksi Al-Qur’an

2.1. Meninggalkan dan menjauhi sesuatu dengan kebencian

Dalam QS Maryam (19) ayat 46 Allah Berfirman:

قال أراغب أنت عن آلهتي يا إبراهيم لئن لم تنته لأرجمنك واهجرني مليا

Artinya: “Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”.”
Dalam Ayat ini, dikisahkan bapaknya Ibrahim AS mengusir Ibrahim dengan kalimat “واهجرني مليا” yang artinya: “Hijrahi aku ! (Tinggalkan aku!), buat waktu yang lama / selamanya” . Hijrah dalam ayat ini adalah meninggalkan sesuatu dengan kebencian.

2.2. Meninggalkan sesuatu karena sesuatu itu Kotor / najis.

Dalam QS Al-Mudatsir (74) ayat 5 Allah Berfirman:

والرجز فاهجر

Artinya: “dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah,”

Dalam ayat ini, Allah ta’ala memerintahkan kita untuk Hijrah (pindah) dari segala yang kotor atau najis , maksudnya adalah menjauhi kemusyrikan, karena kemusyrikan adalah najis (kotor). Hijrah dalam ayat ini adalah Meninggalkan sesuatu karena sesuatu itu Kotor / najis.

2.3. Tidak Mengacuhkan sesuatu karena tidak menyukainya atau karena memusuhinya / membencinya.

Dalam QS Al-Furqan (25) ayat 30 Allah Berfirman:

وقال الرسول يا رب إن قومي اتخذوا هذا القرآن مهجورا

Artinya: “Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan”.”

Dalam ayat ini, Allah ta’ala memberitakan pengaduan Rasulullah kepadaNya. Bahwa kaumnya menghijrahi (tidak mengacuhkan) Al-Qur’an, karena mereka (kafir itu) memusuhi / membenci Al-Qur’an dan Pembawa Al-Qur’an (QS 25/31).

Kata Hijrah dalam ayat ini mengandung pengertian Tidak mengacuhkan, tidak memperhatikan, tidak menghiraukan, karena sesuatu itu tidak disenanginya.

2.4. Meninggalkan Negeri Kafir

Dalam QS Ali Imran (3) ayat 195 Allah Berfirman:

فاستجاب لهم ربهم أني لا أضيع عمل عامل منكم من ذكر أو أنثى بعضكم من بعض فالذين هاجروا وأخرجوا من ديارهم وأوذوا في سبيلي وقاتلوا وقتلوا لأكفرن عنهم سيئاتهم ولأدخلنهم جنات تجري من تحتها الأنهار ثوابا من عند الله والله عنده حسن الثواب

Artinya: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.””

Dalam ayat ini, Allah ta’ala memberitakan pengabulan do’a Rasulullah kepadaNya. Bahwa Allah akhirnya mengijinkan Rasulullah SAW untuk Keluar meninggalkan negri yang kafir setelah beliau dan para sahabat diusir dari negri tersebut. Pengusiran orang kafir terhadap Rasulullah dan para sahabat itu terjadi, karena Para Rasulullah dan para sahabat tidak setuju terhadap: dasar (ideology) negara, Hukum, budaya, dan lain lain yang dianut dan dikembangkan negara kafir yang menurut penilaian Rasulullah SAW adalah JAHILIYYAH.

Kata Hijrah dalam ayat ini mengandung pengertian Meninggalkan Negeri Kafir secara teritorial karena ketidak setujuan / membenci dan memusuhi negri tersebut.

2.5. Berpisah secara bathin

Dalam QS An-Nisa (4) ayat 34 Allah Berfirman:

واللاتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا

Artinya: “… Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Dalam ayat ini, Allah ta’ala memberi arahan bertahap kepada para suami menghadapi istrinya yang dikhawatirkan Nusyuz (menyimpang). Pertama dengan dinasihati, kemudian pisah ranjang hingga dipukul sekedar mengingatkan.

Berpisah atau Pisah ranjang itu adalah tidak satu tempat tidur dengan istri walaupun masih satu atap (rumah). Kalimat berpisah dalam ayat ini menggunakan redaksi Wahjuruhunna (hijrahilah).
Kata Hijrah dalam ayat ini adalah Berpisah, walau masih satu atap atau berpisah secara I’tiqadi.

3- Kesimpulan Pengertian Hijrah
  • Hijrah adalah Pindah, meninggalkan, menjauhi atau berpisah dari sesuatu dengan kebencian, menuju sesutu yang dia sukai atau cintai, bukan pindah atau berpisah biasa biasa saja seperti pindah rumah.
  • Dijauhinya sesuatu tersebut karena sesuatu tersebut mengandung Kekotoran / najis yang tidak disukainya
  • Meninggalkan pindah dari sesuatu tersebut bisa berarti secara fisik (pindah tempat) atau Fsikis (pindah keyakinan).

Sabtu, 9 November 2013

Permudahkanlah urusan perkahwinan



Oleh Dr Mohd Asri Zainul Abidin (*)


Antara peruntuh nilai-nilai baik dalam kehidupan manusia hari ini adalah apabila dimudahkan yang haram dan disukarkan yang halal. Sedangkan Islam menyuruh kita membentuk suasana atau iklim kehidupan yang menyukarkan yang haram dan memudah yang halal. Itulah tanggungjawab pemerintah dan umat iaitu menegah yang makruf dan mencegah yang mungkar. 

Menegak yang makruf itu adalah dengan cara menyuruh, memudah dan membantu ke arah tersebut. Sementara mencegah yang mungkar adalah dengan cara menghalang, melarang dan menyukarkan jalan untuk sampai kepadanya.

Namun, jika masyarakat hari ini menyusahkan yang halal dan menyenangkan yang haram, tanda kita begitu menjauhi ruh syariat Islam yang hakiki yang diturunkan oleh Allah s.w.t.

Antara perkara yang selalu disusahkan adalah urusan perkahwinan. Kesusahan membina rumahtangga itu kadang-kala bermula dari keluarga sehingga ‘ketidakfahaman' tok kadi dan seterus pengurusan pejabat agama dan mahkamah syariah.

Kerenah yang berbagai telah memangsakan hasrat pasangan untuk mendapat ‘nikmat seks' secara halal. Lebih menyedihkan apabila kerenah itu wujud disebabkan kepentingan-kepentingan luar yang bukan kepentingan pasangan secara langsung.

Lembu bukan rukun nikah

Umpamanya, urusan kenduri kahwin atau walimah telah dijadikan jambatan kesombongan ibu bapa atau keluarga sehingga ditangguh perkahwinan bagi memboleh kenduri besar-besaran dibuat demi menjaga taraf ‘jenama keluarga'. Sehingga ada pasangan yang terpaksa menunggu bertahun kerananya.

Apatah lagi jika keluarga membebankan semua belanja kepada bakal pengantin. Maka bakal pengantin terpaksa mengikat ‘nafsu seks' hanya kerana hendak menjaga nafsu menunjuk-nunjuk keluarga. Walaupun kenduri kahwin itu disuruh, namun memadailah dengan kadar yang termampu.

Tidak semestinya ‘ditumbangkan' seekor lembu, atau dipanggil orang sekampung atau sebandar, atau dijemput semua rakan taulan. Seseorang mengadakannya dengan kadar kemampuannya, seperti sabda Nabi SAW yang bermaksud:

"Buatlah walimah walaupun sekadar seekor kambing." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Dalam erti kata lain, jika hanya mampu kenduri laksa, atau bihun atau mee pun tidak mengapa, asalkan diadakan walimah. Apa yang penting perkahwinan yang halal telah dilunaskan. Janganlah macam orang dulu apabila anaknya sebut ingin berkahwin, bapanya akan bertanya:

"Kau dah ada lembu ke nak buat kenduri?". Maka bertangguhlah hasrat si anak. Padahal bukan anaknya ingin berkahwin dengan lembu, dia ingin berkahwin dengan kekasihnya.

Sepatutnya si bapa bertanya: "Kau dah ada pasangan ke?". Itulah soalan yang betul. Lembu tidak termasuk dalam rukun nikah.

Apa yang lebih buruk apabila ada pihak yang menjadikan medan walimah sebagai pentas menunjuk-nunjuk kekayaan harta lalu hanya dijemput orang yang ‘berjenama' dan ditinggalkan saudara-mara, kawan-rakan, jiran-tetangga yang tidak setaraf. Nabi s.a.w. bersabda:

"Seburuk makanan adalah makanan walimah yang dijemput orang kaya dan ditinggalkan orang miskin". (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Maka, menderitakan bakal suami-isteri disebabkan keangkuhan keluarga.

Kerenah kursus kahwin

Saya bukan anti kursus kahwin. Amat baik kursus tersebut jika diuruskan dengan mantap dan betul. Dalam kursus tersebut boleh disampaikan maklumat hukum-hakam nikah yang disyariatkan Allah sehingga generasi muda dapat melihat betapa cantik dan indahnya Islam.

Syariat Islam yang mudah dan penuh hikmat dapat diserap dalam pemikiran bakal pasangan, kursusnya mereka yang masih muda. Agar mereka dapat menyelami kehebatan ajaran Islam ini. Maka kursus itu menjadi saluran dakwah penuh profesional, mantap, berkesan dalam jiwa dan penghayatan.

Malangnya, ada kursus kahwin hari ini seakan projek lumayan untuk mengaut yuran peserta. Bukan sedikit saya terima laporan seluruh negara penceramah kursus kahwin yang berunsur lucah, lawak bodoh serta menggambarkan Islam begitu menakutkan dan susah untuk difahami dan dihayati.
Hukum-hakam diterangkan secara berbelit-belit dan menyerabutkan peserta. Maka, kita lihat walaupun yuran kursus nampaknya makin tinggi dan peserta semuanya diwajibkan berkursus, masalah keretakan rumah tangga bagi generasi baru makin meningkat.

Tok kadi tak faham hukum

Saya juga amat tidak selesa melihat tok kadi yang selalu mendera pengantin agar mengulang-ulang lafaz terima (ijab) ketika akad nikah kononnya belum sah. Akad itu digambarkan begitu sulit dan susah sehingga seseorang menjadi terketar-ketar untuk menyebutnya. Diatur ayat lafaz akad itu dengan begitu skima sehingga pengantin kesejukan untuk menghafalnya.

Padahal akad nikah hanyalah bagi menggambar persetujuan kedua belah pihak menjadi suami isteri yang sah. Apa-apa sahaja lafaz yang membawa maksud kepada tujuan tersebut maka ia sah. Jika bapa bakal isteri menyebut, "Saya nikahkan saudara dengan anak saya Fatimah", lalu bakal suami menjawab: "Saya terima, atau saya bersetuju" atau mungkin ditambah "Saya terima nikahnya" atau "saya bersetuju bernikah dengannya" seperti yang diminta oleh sesetengah sarjana dalam Mazhab al-Syafi'i, maka sahlah ijab dan qabul tersebut.

Tidak disyaratkan mesti satu nafas atau dua nafas atau berjabat tangan atau menyusun ayat dalam bahasa sanskrit lama atau ayat tok kadi yang digunakan sebelum merdeka.

Sehinggakan sarjana fekah semasa Dr Abd al-Karim Zaidan dalam karya al-Mufassal fi Ahkam al-Marah wa al-Bait al-Muslim menyebut:

"Jika seseorang lelaki berkata kepada lelaki yang lain: "Nikahkan saya dengan anak perempuan awak", lalu si bapa itu menjawab: "Aku nikahkan engkau". Atau si bapa berkata kepada bakal suami: "Bernikahlah dengan anak perempuanku". Lalu bakal suami menjawab: "Aku nikahinya". Kedua contoh di atas adalah sah nikah berdasarkan apa yang disebutkan dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim: Sesungguhnya seorang Arab badawi telah meminang wanita yang telah mempelawa dirinya untuk Nabi SAW (ingin berkahwin dengan Nabi SAW), Arab badawi itu berkata:"Nikahilah dia denganku". Jawab Nabi s.a.w.: "Aku nikahkan engkau dengannya bermaharkan al-Quran yang ada bersamamu". (al-Mufassal, 6/87, Beirut: Muassasah al-Risalah).

Bahkan dalam Sahih al-Bukhari ada bab yang al-Imam al-Bukhari letakkan ia berbunyi:

(Bab Apabila Lelaki Yang Meminang Berkata Kepada Wali Perempuan: "Kahwinilah aku dengan wanita berkenaan", lalu dia menjawab: "Aku nikahkan engkau dengannya bermaharkan sekian dan sekian, maka sah nikahnya walaupun tidak ditanya si suami apakah engkau setuju, atau terima").

Juga Imam al-Bukhari (meninggal 256H) menyebut yang bermaksud:

(Apabila bakal suami berkata kepada wali (bakal isteri) kahwinkanlah aku dengannya, lalu wali berkenaan diam seketika, atau bertanya: "Apa yang awak ada (mahar)?", atau kedua mereka diam lalu wali itu berkata: "Aku nikahkan engkau dengannya", maka itu adalah harus (sah). Ada hadis mengenainya yang diriwayatkan oleh Sahl daripada Nabi s.a.w).

Inilah kesimpulan yang dibuat oleh al-Imam al-Bukhari berdasarkan hadis-hadis dalam bab nikah yang diteliti olehnya. Tiada cerita satu nafas atau sekali lafaz dalam akad seperti yang ditokok tambah oleh jurunikah. Apa yang penting proses ijab dan qabul amatlah mudah.

Syaratnya, ia lafaz yang difahami oleh kedua belah pihak serta dua saksi, ia menjelaskan kehendak dan persetujuan untuk berkahwin atau menjadi suami dan isteri. Apabila proses itu berlaku maka ia sah.

Khurafat akad satu nafas


Tidak pernah ada dalil yang menyatakan mestilah satu nafas, atau tidak terputus nafas seperti diada-adakan oleh sesetengah pihak. Paling tinggi yang boleh kita kata adalah tidak boleh ada ruang yang menyebabkan salah satu pihak mengelirukan atau dikelirukan dalam menyatakan persetujuan nikah.

Justeru itu Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah r.h (meninggal 728H) menyebut: "Nikah itu terlaksana (sah) dengan apa sahaja yang dihitung oleh orang ramai sebagai nikah; dalam apa bahasa, atau lafaz atau perbuatan". (petikan Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 2/355).

Apa yang ingin saya jelaskan betapa proses ijab qabul itu begitu mudah dan senang. Memadai jika bakal suami menjawab: "Aku terima nikahnya". Tidak timbul terpaksa berulang kali seperti yang dibuat oleh sesetengah pihak membuli pengantin.

Jika jawapan yang diperlukan begitu ringkas dan jelas, dan pengantin pun telah melakukannya, mengapa pula ada tok kadi yang sengaja bertanya hadirin: "Perlu ulang ke?" Lalu mereka pun dengan sukanya menyebut beramai-ramai "Sekali lagi!, sekali lagi!" Ini adalah permainan buli yang cuba dicampur aduk dengan hukum syarak.

Kerenah 'mahkamah'

Setelah berkahwin, rumahtangga yang dibina seperti yang diajar oleh Islam hendaklah menjadi syurga, bukan neraka. Jika perkahwinan tidak dapat membawa kebahagiaan, insan tidak disuruh memperjudikan hidup keseluruhan kerana isteri atau suaminya. Walaupun talak itu bukan perbuatan yang baik, namun ia dibenarkan jika terpaksa.

Insan mempunyai matlamat hidup, bukan sekadar untuk bertungkus lumus kerana masalah seorang lelaki atau wanita. Maka Islam mengajar cara-cara yang berbagai demi menyelamatkan rumah tangga dari talak. Jika gagal, Islam juga mengajar talak untuk mengelakkan kezaliman berlaku antara salah satu pihak; suami atau isteri.

Firman Allah yang bermaksud:

"Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu) kemudian mereka (hampir) habis tempoh idahnya maka bolehlah kamu pegang mereka (rujuk) dengan cara yang baik atau lepaskan mereka dengan cara yang baik, dan janganlah kamu pegang mereka (rujuk semula) dengan tujuan memberi mudarat, kerana kamu hendak melakukan kezaliman (terhadap mereka); dan sesiapa yang melakukan demikian maka sesungguhnya dia menzalimi dirinya sendiri. Dan janganlah kamu menjadikan ayat-ayat (hukum) Allah itu sebagai ejek-ejekan (dan permainan), dan kenanglah nikmat Allah yang diberikan kepada kamu, (dan kenanglah) apa yang diturunkan kepada kamu iaitu Kitab (Al-Quran) dan hikmat (sunnah), untuk memberi pengajaran kepada kamu dengannya. dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah: sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala-galanya." (Surah al-Baqarah ayat 231)

Jika penerusan perkahwinan hanya memberi mudarat kepada pasangan, maka talak itu disuruh oleh al-Quran. Malanglah kaum wanita yang sepatutnya telah dikeluarkan oleh al-Quran dari kezaliman atau kemudaratan si suami, tiba-tiba terjatuh dalam kezaliman batin akibat proses birokrasi sesetengah mahkamah atas nama syariah.

Maka, wanita hari ini ada yang terseksa batinnya kerana menunggu proses mahkamah yang kadang-kala memakan masa bertahun-tahun. Bagaimana mungkin isteri yang sudah tujuh lapan tahun suaminya tidak mengambil tahu soal nafkah zahir dan batin tetap disahkan oleh mahkamah bahawa dia masih suami sekalipun isteri berulang meminta dipisahkan.

Kata Dr Karim ‘Abd al-Karim Zaidan menyebut: "Jika suami gagal menunaikan nafkah untuk isteri, kadi memisah antara mereka jika isteri memilih untuk berpisah...Hal ini diriwayatkan dari sejumlah para sahabat dan tabi'in" (al-Mufassal, 7/217).

Beliau juga memetik apa yang disebut oleh al-Dardir dalam al-Syarh al-Kabir: "Bagi isteri boleh menuntut dipisahkan dari suami disebabkan mudarat yang dilakukannya; iaitu apa yang tidak diizinkan oleh syarak untuk dia buat seperti meninggalkan isteri atau memukulnya tanpa sebab yang dibenarkan syarak. Atau memaki dia atau bapanya seperti menyebut: Wahai anak anjing, atau wahai anak kafir! Atau wahai anak orang yang dilaknat".

Dr Zaidan seterusnya memetik apa yang disebut oleh al-Imam Ibn Taimiyyah: "Maka dianggap memberi mudarat kepada isteri yang boleh dipisah (dipasakh) apabila suami meninggalkan persetubuhan dalam apa keadaan sekalipun. Samada suami sengaja atau tidak sengaja". (ibid 8/439).

Semua perbahasan yang begitu banyak boleh didapati dalam khazanah Islam itu menggambarkan rumahtangga untuk kebahgiaan hidup insan bukan untuk kedukaan mereka. Jika rumahtangga itu mengundang kedukaan, insan diberi peluang keluar oleh syarak untuk keluar dari daerah itu dengan segera.

Malanglah, jika pintu keluar itu dihalang oleh kerenah birokrasi mahkamah. Hakim barang kali ringan lidahnya menyebut: "Kita tangguhkan perbicaraan kerana suami tidak hadir" sedangkan kesan jiwa begitu besar dan berat ditanggung oleh isteri.

Sebenarnya dalam Islam, jalan kepada halal dan kebahagian dibuka dengan begitu luas dan mudah. Dukacita, jika atas nama agama kita menyusahkan jalan yang halal dan dalam masa yang sama ada pula pihak-pihak lain yang memudahkan jalan yang haram. Perlaksanaan agama hendaklah bukan sahaja mendakwa adil, tetapi hendaklah juga kelihatan adil.

(*) PROF MADYA DATUK DR MOHD ASRI ZAINUL ABIDIN adalah bekas mufti Perlis.

Jumaat, 8 November 2013

Hari Asyura (10 Muharam) – Peristiwa penting dan amalan sunatnya

Tanggal 10 Muharram dinamakan juga hari Asyura kerana pada hari itu banyak terjadi peristiwa penting yang mencerminkan kegemilangan bagi pejuang yang gigih menegakkan syiar Islam.

Peristiwa yang berlaku pada hari Asyura:

* Allah jadikan 7 petala langit dan 7 petala bumi.
* Allah jadikan bulan,bintang,matahari dan cakrawala.
* Allah jadikan Arasy,Loh Mahfuz,Kalam dan Malaikat.
* Allah mencipta Nabi Adam Alaihissallam.
* Allah menjadikan Siti Hawa.

* Allah menjadikan Syurga.
* Dimasukkan Nabi Adam ke dalam Syurga.
* Taubat Nabi Adam diterima Allah.
* Nabi Noh diselamatkan oleh Allah keluar dari bahtera setelah bumi tenggelam selama enam bulan.
* Nabi Ibrahim dilahirkan dan 10 Muharram juga Baginda diselamatkan Allah daripada pembakaran Raja Zamrud.

* Allah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa.
* Nabi Yusuf dibebaskan dari penjara.
* Pengelihatan Nabi Yaakob yang buta dipulihkan oleh Allah.
* Nabi Ayub dipulihkan oleh Allah dari penyakit kulit yang dideritainya.
* Nabi Yunus selamat keluar dari perut ikan setelah berada didalamnya selama empat puluh hari dan empat puluh malam.

* Laut merah terbelah dua untuk menyelamatkan Nabi Musa bersama pengikutnya daripada tentera Firaun.
* Firaun dan pengikutnya tenggelam kedalam lautan tersebut.
* Nabi Sulaiman dikurniakan Allah Kerajaan yang besar.
* Hari pertama Allah mencipta alam dan menurunkan hujan.

Amalan-amalan sunat pada Hari Asyura:

* Berpuasa-Pahalanya seperti mengerjakan haji dan umrah dan mati syahid.
* Mandi dan membersihkan diri-Nescaya hatinya tidak akan mati dan tidak akan jatuh sakit pada tahun itu kecuali mati.
* Melebihkan perbelanjaan dalam keluarga-Diluaskan Allah rezekinya serta beroleh keamanan dan kesihatan.
* Mengusap kepala anak yatim dan menaruh belas kasihan terhadap mereka- Diangkat oleh Allah darjatnya kesyurga.

* Sesiapa yang berbuat baik terhadap anak yatim pada hari Asyura, seolah-olah ia telah berbuat baik kepada semua anak yatim.
* Menziarahi orang alim (banyak ilmu) dan belajar sesuatu ilmu daripadanya-Pahalanya seperti orang Muhajirin dan Ansar.
* Menziarahi orang sakit – Pahalanya seolah-olah ia telah menziarahi semua orang yang sedang sakit.
* Bersedekah – Pahalanya sepertiu bersedekah satu tahun kepada zuriat Nabi Adam dan seolah-olah ia tidak pernah menolak permintaan orang yang meminta kepadanya seumur hidup.

* Membaca surah Al-Ikhlas sebanyak 1000 kali–Doanya dimakbulkan Allah.
* Sunat bercelak mata – InsyaAllah tidak terkena sakit mata atau matanya dilindungi Allah daripada perkara maksiat.
* Sunat menginai dan mengerat kuku.
* Menjamu dan memberi minum kepada orang-Allah akan memberi seteguk air pada hari akhirat dimana dengan seteguk air itu tidak akan haus buat selama-lamanya.

* Solat sunat 4 rakaat 1 salam pada waktu Asar – Diampunkan Allah dosanya selama 50 tahun terdahulu dan terkemudian.
* Memperkukuhkan silaturrahim – Insya Allah dipanjangkan usianya.
* Memperbanyakkan Zikir dan Selawat. ( Khasbunnallah wa nikmal wakil, nikmal maula wa nikman nassir )

Selasa, 5 November 2013

Peristiwa Hijrah pencetus semangat ukhwah, transformasi


Oleh Mohd Ayop Abd Razid


Hari ini, umat Islam mula melangkah masuk ke tahun 1432 Hijriyah. Di negara kita sambutan Maal Hijrah disambut pada setiap 1Muharam. Sambutan Maal Hijrah pada tahun ini adalah bertemakan ’1Malaysia, 1Ummah’. Hijrah adalah perkataan Arab yang bermaksud meninggalkan negara atau berpindah dari ‘badiah’ (padang pasir) ke kampung atau kota. Sejarawan Islam merujuk hijrah sebagai peristiwa perpindahan Nabi Muhammad SAW dan umat Islam dari Mekah ke Madinah.

Peristiwa itu telah mencatatkan bahawa Rasulullah SAW berjaya menjejakkan kakinya di bumi Madinah pada 16 Rabiul Awal, bersamaan 20 September 622 Masihi. Justeru, bagi sejarawan dan ulama Islam, peristiwa itu menjadi garis pemisah antara ‘zaman Makiyyah’ dan ‘zaman Madinah’. Jika di Mekah, umat Islam diditekan dan ditindas tetapi di Madinah pula umat Islam berjaya menjadi umat yang cemerlang dan dihormati.

Satu perkara yang harus difahami ialah peristiwa tersebut hijrah dilaksanakan atas  perintah Allah SWT. (al-Isra’:76 dan an-Nisa’:97). Sebelum perintah berhijrah ke Madinah diturunkan, rasulullah SAW pernah mengizinkan pengikutnya yang telah disiksa dan dizalimi berhijrah ke Habsyah secara sulit. Hijrah ke Habsyah berlaku sebanyak dua kali, iaitu pada 615 Masihi dan pada 617 Masihi. Raja Habsyah ketika itu adalah seorang Nasrani yang menyakini akan kelahiran rasul akhir zaman. Raja Habsah terkenal sebagai raja yang bersifat adil dan  bersedia memberikan perlindungan kepada orang yang dizalimi.

Di Madinah, rasulullah telah berjaya membina negara Islam Madinah yang kuat. Untuk membuina negara Islam yang kuat baginda terlebih dahulu membina perpaduan yang kukuh di kalangan penduduknya. Ia bermula dengan mempertautkan persaudaraan atau ukwah Islamiah di antara kumpulan al-Muhajirun dari Mekah dan golongan al-Ansar di Madinah. Kemudian, baginda turut memikirkan penyatuan seluruh penduduk Madinah yang bersifat majmuk itu.

Untuk tujuan itu maka rasulullah telah mengubal perlembagaan bertulis yang dikenali sebagai ’Shahifah Madinah’ atau Perlembagaan Madinah. Isi Piagam Madinah dapat disimpulkan kepada 4 asas utama iaitu: mempersatukan seluruh umat Islam dari berbagai suku menjadi satu ikatan; menghidupkan semangat penerimaan serta saling bekerjasama sesama penduduk (warga); menetapkan bahawa setiap penduduk Madinah mempunyai kewajiban melindungi dan mempertahankan tanah air  serta keamanan  negara; dan,  menjamin persamaan dan kebebasan bagi semua kaum dan kepercayaan agama.

Asas-asas tersebut jelas menggambarkan bahawa Piagam Madinan turut memasukkan orang bukan Islam (non muslim) ke dalam kesatuan ummah. Misalnya dalam Pasal 25 Perlembagaan itu menyebut, "Kaum Yahudi Bani 'Auf bersama dengan warga yang beriman adalah satu umah”.  Dalam fasal Pasal 44 pula  disebut, "Semua warga akan saling bahu membahu dalam menghadapi serangan pihak lain yang melancarkan serangan terhadap Yasthrib ."

Jelaslah bahawa, walaupun  dari  segi sejarahnya, istilah negara (‘state’) dan bangsa (‘nation’) mula muncul  pada awal abad ke-20, namun konsep ummah seperti yang terkandung di dalam piagam Madinah itu telah mencerminkan wujudnya semangat faham negara atau faham kebangsaan. Konsep  ummah itu telah berjaya mempersatukan masyarakat Madinah menjadi suatu masyarakat yang saling bertanggungjawab mempertahankan tanah air serta bertanggungjawab mempertahankan keamanan dan kesejahteraan sosial mereka bersama. Justeru, tema sambutan Maal Hijrah ’1Malaysia, 1Ummah’ adalah sesuai dalam konteks negara kita dan selari dengan konsep 1Malaysia.

Kandungan Perlembagaan Madinah juga mengandungi ”perjanjian sosial” di dalamnya. Ini dapat difahami apabila perlembagaan itu menetapkan bahawa setiap penduduk Madinah tanpa mengira keturunan dan agama bertanggungjawab mempertahankan Madinah dari sebarang ancaman. Dalam kehidupan sosial pula mereka berjanji akan hidup bersatu padu, bertoleransi dan saling bantu membantu antara satu sama lain. Mana-mana penduduk yang didapati tidak setia, khianat atau melanggar perlembagaan maka hukuman setimpal akan dikenakan ke atas mereka.

Perlembagaan itu merpakan satu-satu perlembagaan bertulis yang pernah berdaulat sepenuhnya dalam sejarah dan tamadun manusia. Prof. Muhammad Hamidullah (1973), menyebut bahawa walaupun sudah wujud perlembagaan tertua di Greek, China dan India ketika itu, namun semua perlembagaan itu tidak dapat dianggap sebagai perlembagaan sebenar (‘a true constitution’ ).

Phillip K.Hitti dalam bukunya History of The Arabs pula menyebut, walaupun di Athens sudah wujud sebuah negara kota (citystate) yang pernah melakukan beberapa pindaan dan pembaharuan perlembagaan mereka tetapi ia bukanlah perlembagaan yang sebenar. Ia hanyalah kumpulan undang-undang lisan yang berasaskan adat resam.

Umat Islam patut mengambil pengajaran dan hikmah dari peristiwa besar ini. Di antara pengajaran yang perlu difahami dari peristiwa hijrah itu ialah perlunya kita memiliki misi dan visi dalam sesuatu perjuangan. Kita juga perlu memahami secara realistik tentang cabaran dan tentangan yang dihadapi supaya kita dapat menyediakan rangka strategi dan bertindak yang berkesan. Setiap anggota masyarakat harus memainkan peranan masing-masing secara berkesan serta patuh kepada perlembagaan dan peraturan negara .

Peristiwa Hijrah juga membuktikan bahawa Rasulullah berjaya meletakkan asas-asas utama dalam perkara berkaitan politik dan pemerintahan, menegakkan hak-hak rakyat dan hak-hak asasi manusia, mengatur sistem ekonomi dan sosial serta hubungan diplomatik dengan negara luar. Kejayaan membina peradababan dan tamadun di Madinahlah yang menjadikan Islam sebagi peneroka zaman pencerahan turut membawa perubahan di dunia Barat. Fakta ini diakui oleh banyak sejarawan Barat.

Misalnya, Edward Mc Nall Burns, Robert E Lesner dan Standish  dalam buku Western Civilization, Their History and Culture menyebut bahawa Islam yang pada asalnya diterima oleh penduduk gurun pasir di Mekah, akhirnya berupaya dan berjaya mencetuskan idea pembaharuan di Eropah sejak abad ke-12. Arthur Glyn Leonard dalam bukunya Islam, her moral and spiritual value: a rational and psychological study  pula menyebut bahawa dunia Barat terhutang budi kepada Islam kerana agama inilah yang membuatkan Barat mengenal dan membangun ilmu pengetahuan moden.

Peristiwa ini bukan sekadar persoalan menyelamat dan menegakkan akidah tauhid tetapi juga bagaimana kecemerlangan kehidupan dunia diatur oleh Rasulullah SAW melalui pembentukan negara Islam Madinah.

Oleh itu, dalam konteks moden hari ini, umat Islam sepatutnya bukan sahaja menghayati makna hijrah dari konteks akidah semata-mata, malah sambutan maal hijrah juga sewajarnya difahami sebagai landasan untuk melakukan transformasi ke arah membentuk sebuah negara maju yang memiliki kekuatan dalam segenap aspek kehidupan supaya umat Islam tindak terus tinggal dalam kebekuan dan keterbelakangan dalam kehidupan duniawi.

Pengertian ini adalah selari dengan maksud doa yang selalu dibaca oleh umat Islam yang bermaksud, ”Wahai Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat” . Ingatlah bahawa Rasulullah ketika membina  negara Islam Madinah, bukan sahaja menekankan soal kerohanian (akidah) tetapi juga baginda  turut membangunkan  sistem sosioekonomi negara Islam yang maju
.
Oleh kerana begitu signifikannya peristiwa hijrah ini, maka Saidina Umar Al-Khatab r.a. telah menjadikannya sebagai asas untuk melahirkan kalendar Islam  yang dikenali sebagai Tahun Hijrah (Hijriah). Pada hakikatnya, kelahiran kalender Islam itu adalah kesan daripada sebuah peristiwa sejarah yang penuh hikmah (wisdom). Ia memiliki kedalaman agama kerana hijrah merupakan perintah Allah yang menuntut kesabaran dan pengorbanan yang mulia.

Kesimpulan, sempena sambutan Maal Hijrah ini ini maka marilah kita tingkatkan keimanan dan ketakwaan kita. Untuk kepentingan negara pula, maka marilah kita mempertingkatkan usaha menjayakan transformasi seperti yang dihasratkan kerajaan. Produktiviti  kerja harus dipertingkatkan,  sama ada di sektor awam, sektor swasta atau mereka yang bekerja sendiri sebagai usahawan, peniaga, petani, penternak atau apa sahaja kerjaya yang halal.