Isnin, 24 Mac 2014

Hukum Menjual dan Menyewakan Aset Wakaf




Hukum Menjual Aset Wakaf 

Dasar hukum penjualan aset wakaf adalah hadist Abdullah bin Umar di bawah ini :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ

  “ Dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma bahwa Umar bin Khathab radliallahu 'anhu mendapat bagian lahan di Khaibar lalu dia menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk meminta pendapat Beliau tentang tanah lahan tersebut seraya  berkata: “ Wahai Rasulullah, aku mendapatkan lahan di Khaibar dimana aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih bernilai selain itu. Maka apa yang Tuan perintahkan tentang tanah tersebut? Maka Beliau berkata: “ Jika kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya lalu kamu dapat bershadaqah dengan (hasil buah) nya.” Ibnu Umar radliallahu 'anhu berkata: Maka Umar menshadaqahkannya ( hasilnya ), dan wakaf tersebut tidak boleh dijual, tidak dihibahkan dan juga tidak diwariskan,  namun dia menshadaqahkannya untuk para faqir, kerabat, untuk membebaskan budak, fii sabilillah, ibnu sabil dan untuk menjamu tamu. Dan tidak dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya dengan cara yang ma'ruf dan untuk memberi makan orang lain bukan bermaksud menimbunnya.”  (HR Bukhori)

 Berdasarkan hadist di atas,  para ulama berpendapat bahwa aset wakaf tidak boleh dijual atau ditarik kembali  oleh pemiliknya, bahkan sebagian kalangan menyatakan bahwa hal ini merupakan kesepakatan ulama. Berkata Imam Qurthubi : “ Pendapat yang membolehkan penarikan kembali barang yang sudah diwakafkan adalah pendapat yang menyelesihi kesepakatan ulama, maka tidak boleh diikuti. “ [1]  Hanya saja dalam rinciannya ternyata para ulama berbeda pendapat :

Pendapat Pertama : Boleh menjual wakaf dan atau menariknya kembali. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah. Tetapi murid-muridnya mengingkari hal ini, berkata Abu Yusuf : “ Seandainya hadist di atas sampai kepada Abu Hanifah, niscaya dia akan mengikutinya dan akan menarik pendapatnya yang membolehkan penjualan aset wakaf. “ [2]

Pendapat Kedua : Tidak boleh menjual wakaf sama sekali, walaupun diganti dengan yang lebih baik atau lebih banyak manfaatnya, selama aset wakaf tersebut tidak terputus manfaatnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Syafi’I[3], dan riwayat dari Imam Ahmad.

Adapun dalil pendapat ini sebagai berikut :

Dalil Pertama : Hadist Umar di atas yang menyebutkan : “ Wakaf tersebut tidak boleh dijual “ ,  kalimat ini bersifat umum, dan tidak ada pengecualian, sehingga tetap haram menjual benda wakaf dan ditukar dengan yang lain.

Dalil Kedua : Jika dibolehkan untuk ditukar dengan yang lain, hal itu akan menimbulkan kerusakan dimana-mana, karena setiap Nadhir wakaf, dengan mudahnya menjual benda wakaf dan menukarnya dengan yang lain, yang menurutnya lebih baik. Jika ini terjadi, maka akan sulit mengontrolnya, maka hal ini dilarang untuk mencegah terjadinya kerusakan tersebut.

Dalil ketiga : Hal ini seperti apa yang difatwakan oleh Imam Malik, ketika  Khalifah Harun Rasyid memintanya izin untuk membongkar Ka’bah dan dikembalikan kepada pondasi yang pernah dibangun Nabi Ibrahim, maka Imam Malik melarangnya dan mengatakan : “ Jangan sampai Ka’bah engkau jadikan sebagai permainan para raja. “ .  Padahal tujuan Khalifah Harun Rasyid adalah kebaikan. [4]

Tetapi dalam madzhab Maliki sendiri dibolehkan menjual tanah atau rumah wakaf jika terkena pelebaran masjid, jalan atau kuburan umum, sebagaimana disebutkan dalam buku Hasyiat ad-Dasyuqi. [5]

Pendapat Ketiga : Boleh menjual wakaf jika manfaatnya hilang, atau wakaf tidak berfungsi lagi, seperti masjid yang roboh, atau masyakat sekitar masjid tersebut pindah tempat, sehingga tidak ada yang memanfaatkan masjid tersebut . Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat lain. [6]
            Adapun dalilnya sebagai berikut :

Dalil Pertama : Atsar Umar bin Khattab ketika sampai kepadanya berita bahwa Baitul Maal di Kufah telah rusak, maka beliau memerintahkan Saad bin Abi Waqqas gubernur Kufah untuk memindahkan masjid  yang berada di Tamarin, dan memindahkan Baitul Maal di depan masjid. [7]
Peristiwa ini diketahui oleh para sahabat, dan tidak ada satupun dari mereka yang menolaknya, hal  ini menunjukkan adanya kesepakatan mereka.

Dalil Kedua : Bahwa Syariah Islam selalu memperhatikan maslahat dan menghilangkan mafsadah. Jika dengan menjual aset wakaf dan menggantikan dengan lainnya membawa masalahat yang lebih banyak dan mengurangi kerusakan yang ada, maka hal itu dibolehkan karena sesuai dengan ruh Syariah Islam.

Berkata Ibnu Taimiyah : “ Jika kebutuhan mendesak, maka wakaf tersebut wajib diganti dengan yang sama, jika tidak ada kebutuhan mendesak, dibolehkan menggantikannya dengan yang lebih baik, hal itu karena ada maslahat yang hendak dicapai. “

Berkata Ibnu Uqail : “ Wakaf itu sifatnya langgeng, jika tidak bisa melanggengkannya secara khusus ( karena rusak dan yang lainnya ), maka paling tidak kita menjaga maksud ( dari wakaf itu sendiri ), yaitu pemanfaatan yang terus menerus dengan barang lain, yaitu dengan cara diganti, karena kalau tetap mempertahankan aset wakaf yang sudah tidak berfungsi lagi, justru malah tidak sesuai dengan tujuan ( wakaf) itu sendiri  “ [8]

Dalil Ketiga : Meng-qiyaskan kepada hadist yang membolehkan seseorang merubah nadzarnya kepada nadzar yang lebih baik, sebagaimana dalam hadist Jabir :

وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه  أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَوْمَ اَلْفَتْحِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنِّي نَذَرْتُ إِنْ فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْكَ مَكَّةَ أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِ اَلْمَقْدِسِ, فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: شَأْنُكَ إِذًا (رَوَاهُ أَحْمَدُ, أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ)

“ Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seseorang berkata pada waktu penaklukan kota Mekkah: Wahai Rasulullah, aku telah bernadzar bila Allah menaklukan kota Mekkah kepada baginda, aku akan sholat di Baitul Maqdis. Beliau bersabda: "Sholatlah disini." Orang tersebut bertanya lagi dan beliau bersabda: "Sholatlah disini." Orang itu masih bertanya lagi, maka beliau bersabda: "Kalau begitu, terserah engkau." (HR Ahmad dan Abu Daud, dan dishahihkan oleh Hakim)

Jika nadzar saja bisa dirubah dengan yang lebih baik, begitu juga wakaf, boleh dirubah dengan yang lebih baik.

Pendapat ketiga ini lebih kuat, karena sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin. Untuk menghindari adanya penyelewengan, ketika menjual dan menggantikan dengan yang lebih baik, harus di bawah pengawasan pemerintah atau lembaga sosial yang dapat dipercaya. Wallahu A’lam

Menyewakan Benda Wakaf

Adapun menyewakan benda wakaf, sampai sekarang penulis belum menemukan satupun  ulama yang mengharamkan, artinya semua ulama membolehkannya.

Berkata Imam Nawawi : “ Pasal : Pewakaf dan siapa yang diserahi oleh pewakaf ( nadhir ) dibolehkan untuk menyewakan wakaf “ [9]

Tetapi walaupun begitu, para ulama berbeda pendapat  tentang masa penyewaan benda wakaf dan penyewaan dengan upah yang tidak standar :

Pendapat Pertama : Tidak boleh menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu yang lama, seperti puluhan tahun lamanya [10] dan tidak boleh menyewakan barang wakaf dengan harga yang tidak standar. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiyah Mutakhirin. [11]

Alasannya dikhawatirkan jika disewakan dalam waktu yang lama, keuntungannya sulit diprediksi, dan benda wakaf tersebut bisa berpindah tangan tanpa disadari oleh para nadhirnya, apalagi kalau tidak kuat bukti-buktinya

Ibnu Hajar al-Haitsami ketika ditanya tentang kasus seorang perempuan yang hendak menyewakan benda wakaf selama limapuluh tahun dengan izin pemerintah, beliau menjawab : “ Tidak boleh pemerintah mengizinkannya ( untuk menyewakan benda wakaf ) dalam waktu yang panjang, karena susah menentukan harga sewa dalam jangka waktu tersebut. Begitu juga dikhawatirkan benda wakaf tersebut akan rusak ( hilang ) jika disewakan dalam jangka waktu yang panjang. “ [12]

Berkata Ibnu Nujaim al-Hanafi : “ Ketahuilah bahwa penyewaan wakaf tidak boleh kecuali dengan harga standar, atau lebih. Jika seorang Nadhir menyewakan wakaf dengan harga di bawah harga standar, maka tidak sah penyewaannya, dan penyewa wajib membayar dengan harga standar. “ [13]

Sebagian pemerintah pada waktu dulu sepakat untuk tidak membolehkan penyewaan benda wakaf lebih dari tiga tahun dengan alasan yang disebutkan di atas. [14]

Pendapat Kedua : Boleh menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu yang lama jika untuk kepentingan umum. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiyah terdahulu dan pendapat mayoritas ulama.
Berkata Ibnu Taimiyah : “Jika benda wakaf untuk kepentingan umum, maka boleh untuk disewakan sesuai dengan maslahat yang ada dan tidak terbatas waktunya menurut mayoritas ulama. “ [15]

Tapi kebolehan menyewakan wakaf dalam waktu panjang ini syaratnya jika diprediksi wakaf tersebut akan tetap utuh, dan tidak rusak ataupun hilang.

Berkata Bahuti  : “ Jika seseorang menyewakan rumah wakaf atau sejenisnya seperti tanah wakaf dengan waktu yang jelas, walaupun jangkanya panjang selama diprediksi barangnya masih utuh, maka sah penyewaannya. “ [16]

Kesimpulan : 

Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa boleh menjual wakaf dan menggantikannya dengan yang lebih baik, jika hal tersebut maslahatnya lebih besar sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri. Begitu juga boleh menyewakan wakaf dengan tujuan pengembangan wakaf itu sendiri.

Hendaknya pewakaf atau nadhir wakaf memilih penyewaan yang menguntungkan untuk pengembangan wakaf dan menghindari penyewaan yang jangkanya lama, kecuali jika keuntungannya bisa diprediksi dan bisa dijaga keutuhan dan keselamatan aset wakaf tersebut. Wallahu A’lam.
Wallahu A’lam .

Selasa, 11 Mac 2014

RIWAYAT HIDUP IMAM ABU HANIFAH ( 80 H - 150 H ) - BAHAGIAN (3 - AKHIR )



Dipetik dari : http://alhammasiyy.wordpress.com

Kitab-kitab penting di dalam mazhab hanafi :

Selain kitab-kitab yang berjumlah enam buah ini,terdapatnya kitab-kitab lain yang telah diriwayatkan oleh murid-murid beliau daripada beliau,iaitu dengan jalan periwayatan riwayat ahad antaranya :

(1) Ar-Ruqqiyaat,iaitu kitab yang meliputi tentang masalah-masalah yang dicabangkan oleh Muhammad ketikamana beliau menjadi Ketua Pengurusan Hamba,
(2) Al-Kisaaniyaat,iaitu kitab yang meliputi tentang masalah-masalah yang telah diriwayatkan oleh murid beliau daripada beliau iaitu Syuaib Bin Sulaiman Al-Kisaniy
(3) Al-Jurjaaniyaat
(4) Al-Haruniyaat,iaitu dinisbahkan kepada nama anak murid beliau,dan dianggap riwayat Muhammad Bin Al-Hasan didalam kitab Al-Muwattho’ Imam Malik merupakan diantara riwayat yang terbaik didalam kitab agung tersebut.

Manakala kitab-kitab Mukhtasar (10) terhadap enam buah kitab tersebut antaranya :

(1) Mukhtasar At-Tohawiy
(2) Al-Kaafiy oleh Haakim As-Syahid
(3) Tuhfatul Fuqaha’ oleh As-Samarqandi
(4) Mukhtasar Al-Qaduri yang mana kitab ini dipanggil sebagai “Al-Kitab” didalam mazhab hanafi
(5) Bidayatul Mubtadiy oleh Burhanuddin Mirghinaani
(6) Al-Mukhtar oleh Abdullah Bin Mahmud Bin Maudud Al-Mosuli
(7) Kanzul Daqaieq oleh An-Nasafi
( 8 ) Wiqayatul Ar-Riwayat Li Sadri As-Syariah

Dan kitab-kitab syarah yang penting pula :

(1) Al-Mabsuth oleh Imam As-Sarakhsi yang mensyarahkan Mukhtasar At-Tohawiy
(2) Badaie’u As-Sonaie’ oleh A’laauddin Al-Kaasaaniy yang mensyarahkan Tuhfatul Fuqaha’ As-Samarqandi
(3) Al-Hidayah oleh Burhanuddin Mirghinaani yang mensyarahkan Bidayatul Mubtadiy dan syarah kepada Al-Hidayah pula Al-Inayah
(4) Al-Ikhtiyar Li Ta’liil Al-Mukhtar oleh Al-Mosuli yang mensyarahkan kitabnya Al-Mukhtar.

(3) Zufar Bin Al-Huzail :

Beliau ialah Zufar Bin Al-Huzail Bin Qis Al-Kufiy,dilahirkan pada tahun 110 hijrah dan wafat pada tahun 158 hijrah,bapa beliau dahulu merupakan penguasa di Basrah,beliau mempelajari Ilmu Hadith pertamanya dan beliau merupakan diantara perawi hadith,kemudian mempelajari Ilmu Feqh dengan Imam Abu Hanifah,dan beliau banyak menggunakan Ar-Ra’yi seperti imam beliau ini,dan beliau merupakan diantara murid yang amat mahir didalam mengunakan Al-Qiyas,dan juga diantara murid yang banyak menggunakan Ar-Ra’yi didalam pendapat beliau,dan merupakan seorang imam yang ahli ibadah,zuhud dan lebih banyak mengembangkan ilmu disepanjang hayat beliau,sehinggalah beliau meninggal dunia di Basrah,dan tiadalah apa yang beliau tinggalkan dirumah beliau melainkan hanya wang 3 dirham sahaja,kerana beliau pernah berkata :
“Tidaklah aku akan tinggalkan apa-apa selepas kematianku nanti sesuatu yang lebih aku takuti daripada Al-Hisab”
(4) Al-Hasan Bin Ziyad Al-Lu’luiey :

Beliau ialah Al-Hasan Bin Ziyad Al-Lu’lu’iey Al-Kufiy yang wafat pada tahun 204 hijrah,berguru dengan Imam Abu Hanifah pertamanya,kemudian dengan dua orang sahabat (didalam mazhab hanafi) iaitu Abu Yusuf dan Muhammad Bin Al-Hasan As-Syibaaniy,dan pencapaian beliau didalam feqh tidaklah sampai ke peringkat pencapaian dua orang sahabat tadi,dan beliau telah mengarang beberapa buah kitab didalam mazhab hanafi,tetapi kitab-kitab beliau itu tidak sampai ke martabat kitab-kitab yang dikarang oleh Muhammad Bin Al-Hasan.

Ashabul Hanafi yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah :

Keempat-empat orang alim ini merupakan ashab didalam mazhab hanafi yang paling masyhur,iaitu mereka ini telah berguru dengan Imam Abu Hanifah,dan mereka telah menyebarkan mazhab beliau ini disegenap ceruk,dan bukanlah mereka ini dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah seperti pengikut yang mengikuti ketua,tetapi dinisbahkan seperti anak murid dengan gurunya,kerana kami melihat mereka ini telah berijtihad didalam mazhab hanafi,dan mereka tidaklah hanya menggunakan pendapat-pendapat guru mereka sahaja,tetapi mereka juga telah bercanggah dengan sebahagian pendapat-pendapat guru mereka jika mereka menemui dalil terhadap sesuatu perkara tersebut lebih kuat daripada dalil yang digunakan oleh guru mereka,maka mereka ini merupakan para mujtahid yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah,kerana mereka telah berijtihad sambil mengiringi ijtihad mereka itu dengan usul-usul serta kaedah-kaedah yang telah dibina di dalam mazhab ini,dan mereka telah mengikuti jalan serta pendekatan yang digunakan Imam Abu Hanifah didalam berijtihad dan berfatwa.

Melihatkan percanggahan yang berlaku antara ashabul hanafi ini dengan guru mereka maka telah tercetusnya beberapa istilah didalam mazhab hanafi,iaitu dengan meletakkan pendapat imam-imam mazhab ini beriringan dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan menisbahkan setiap pendapat itu kepada orang yang mengemukakan pendapat tersebut,ianya terjadi apabila berlakunya percanggahan pendapat sesama mereka dan masing-masing pula bertetapan dengan pendapat masing-masing,jika Imam Abu Hanifah sependapat dengan Abu Yusuf terhadap sesuatu perkara maka mereka akan menggunakan istilah :
هذا رأى الشيخين
Bermaksud : Ini adalah pendapat dua orang syeikh (iaitu Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf)
Penjenamaan ini adalah kerana kedua-dua orang ini adalah guru bahkan syeikh kepada Muhammad Bin Al-Hasan,dan jika Imam Abu Hanifah sependapat dengan Muhammad Bin Al-Hasan pula terhadap sesuatu perkara,mereka akan menggunakan istilah :
هذا رأى الطرفين
Bermaksud : Ini adalah pendapat dari kedua belah pihak (iaitu Imam Abu Hanifah dengan Muhammad Bin Al-Hasan)

Penjenamaan ini adalah kerana Abu Yusuf sebaya dengan kedua-dua imam ini dari segi umur (Imam Abu Hanifah dan Muhammad Bin Al-Hasan) manakala Zufar Bin Huzail pula pendapat beliau dinisbahkan kepada beliau sendiri.

Disebabkan hubungan yang rapat antara Abu Yusuf dengan para khalifah Abbasiyyiin,bahkan para pemerintah menyukai beliau dan juga disebabkan jawatan Ketua qadhi yang dipegangnya itu telah memberikan suatu peluang yang cukup besar kepada beliau untuk menyebarkan mazhab hanafi ke seluruh pelusuk Negara Islam,dan sesungguhnya para penguasa Utsmaniyiin telah menyebarkan mazhab hanafi ini di kebanyakkan negara-negara islam sehinggalah ke hari ini,ianya tersebar di negara-negara yang mendapat pengaruh penguasaan pemerintahan Utsmaniy,seperti Negara Turki,Mesir,Syria dan Lubnan dan beberapa negara Eropah serta Benua Asia yang mana telah terkesan dengan pemerintahan islam Turki seperti Albania dan Balkan,dan mazhab ini telah diikuti secara meluas di Afghanistan,Pakistan,India dan China.

Istilah-istilah penting di dalam mazhab hanafi pula :

(1) Al-Imam : Imam Abu Hanifah
(2) As-Sohibaani : Abu Yusuf dan Muhammad Bin Al-Hasan As-Syibaaniy
(3) Ats-Tsalatsah (الثلاثة) : Al-Imam dan As-Sohibaani
(4) Kitab Zahirul Riwayat : Kitab-kitab Muhammad Bin Al-Hasan As-Syibaaniy yang berjumlah enam buah
(5) Al-Kitab : Mukhtasar Al-Qaduri
(6) Al- Mutun Ats-Tsalatsah : Al-Wiqayah,Kanzu Ad-Daqaieq dan Mukhtasar Al-Qaduri.

RUJUKKAN DAN PENERANGAN :

(1) Al-Madkhal Ila Al-Feqh Al-Islami oleh Dr.Mahmud Muhammad At-Tonthowi
(2) Ar-Ra’yu : Apa yang dicondongkan oleh hati selepas berfikir dan mendalami sedalam-dalamnya terhadap sesuatu masalah dan berusaha mencari kebenaran terhadap sesuatu yang bercanggah tanpa mengambil sesuatu kebenaran itu berdasarkan hawa nafsu,dan Ar-Ra’yu pula digunakan dengan :

(2.1) Ijtihad pada nas-nas yang bersifat zhonni,iaitu nas-nas yang mempunyai banyak takwil dan mempunyai berbagai makna.

(2.2) Menggunakan dalil-dalil aqal yang bersandarkan kepada Al-Quran dan As-Sunnah secara zahir atau tersembunyi seperti Qiyas,Masalihul Mursalah,Sadduz Zaraie’,Istihsan dan lain-lain.

Manakala Madrasah Ar-Ra’yi di Iraq pula ialah sebuah institusi yang banyak menggunakan Ar-Ra’yu di dalam pendekatan feqh mereka memandangkan keadaan Iraq ketika itu yang menjadi sarang memalsukan hadith yang mana ianya telah dipelopori oleh Umar Bin Al-Khattab dan telah dipindahkan ke Iraq oleh Abdullah Bin Mas’ud,dan Imam Abu Hanifah telah mengambil dari jalan Mas’ud ini dari guru-guru beliau yang berguru dengan Mas’ud dan Imam Abu Hanifah dianggap sebagai Imam Madrasah Ar-Ra’yi di Iraq ini,tetapi tidaklah mereka mengunakan ar-Ra’yu itu apabila menjumpai penyelesaian terhadap sesuatu masalah itu dari Al-Quran dan As-Sunnah.

Pendekatan golongan ini amat berbeza dengan pendekatan golongan Madrasah Ahlul Hadith di Hijaz yang mana mereka lebih banyak menggunakan hadith-hadith dan atsar-atsar didalam pendekatan feqh mereka.

(3) Yang dimaksudkan dengan perawi yang adil ialah : hendaklah dia seorang yang beragama islam,baligh (cukup umur) beraqal,terlepas dari tuduhan Fasiq dan juga terlepas dari perkara yang mencemarkan maruah.

Manakala perawi yang Tsabit ataupun Dhobit pula ialah : riwayatnya tidak bercanggah dengan riwayat dari perawi yang tsiqah (terpercaya),tidak cepat terlupa hafalanya,tidak bodoh atau dungu,tidak melakukan kesalahan yang berat didalam riwayatnya juga tidak terlalu banyak melakukan kesilapan di dalam periwayatanya. (Taisiru Mustholahul Hadith oleh Dr.Mahmud At-Thohhan)

(4) Yang dimaksudkan dengan Ijmak Soreh ialah : suatu persetujuan pendapat dari kalangan para mujtahid samada melalui kata-kata mereka atau perbuatan-perbuatan mereka terhadap sesuatu hukum pada sesuatu masalah,seperti berhimpunya para ulamak didalam suatu majlis,dan setiap seorang dari mereka melontarkan pendapat masing-masing secara jelas dan terang terhadap sesuatu masalah,lalu bersepakatnya pendapat-pendapat mereka itu dengan suatu hukum yang sama,ataupun setiap ulamak tersebut mengeluarkan fatwa mereka terhadap sesuatu masalah berdasarkan ijtihad masing-masing,lalu berlakunya persepakatan fatwa-fatwa tersebut dengan hukum yang sama,yang mana ianya dapat dijadikan hujjah didalam hukum syarak tanpa khilaf dikalangan jumhur ulamak.

(5) Dan Ijmak Sukutiy pula ialah : seperti berkatanya beberapa mujtahid didalam zaman masa yang sama dengan memberikan pendapat terhadap sesuatu masalah,tetapi beberapa mujtahid yang lain pula hanya mendiamkan diri mereka selepas mendalami pendapat-pendapat tersebut,tanpa sebarang pengingkaran,bercanggahnya para ulamak terhadap ijmak ini dari segi kebolehanya dijadikan hujjah di dalam hukum syarak :

Malikiah dan As-Syafieyyah : tidak dikira sebagai Ijmak dan tidak boleh dijadikan hujjah,
Al-Hanafiah dan Al-Hanabilah : dikira sebagai Ijmak dan merupakan hujjah syarak yang qoth’ie. (Al-Wajiz Fi Usulil Feqh oleh Dr.Wahbah Az-Zuhailiy)

(6) Al-Istihsan : menggunakan qiyas yang bersifat tersembunyi melebihi daripada qiyas yang bersifat zahir dan jelas,ataupun menggunakan hukum yang bersifat terkecuali melebihi daripada hukum yang bersifat Kulli iaitu hukum yang bersifat menyeluruh,contoh :

(6.1) Para fuqaha’ Hanafiah menyatakan bahawa jika berselisihnya antara penjual dan pembeli terhadap kadar harga pada sesuatu barang jualan sebelum ianya di beli oleh si pembeli, yang mana si penjual mendakwa bahawa harga barang tersebut ialah RM100 manakala si pembeli pula mengatakan RM 90,maka secara jalan Istihsan (qiyas tersembunyi) hendaklah kedua-dua mereka mengangkat sumpah.

Jikalau secara jalan Qiyas yang zahir pula,penjual itu tidaklah perlu mengangkat sumpah,kerana kaedah menyatakan : « pembuktian ke atas siapa yang mendakwa dan bersumpah kepada siapa yang menafikanya » dan si penjual mendakwa pertambahan sebanyak RM 10 dari RM 90,dan si pembeli pula menafikan harga tersebut,maka si penjual tidak perlu bersumpah,

Dari jalan Istihsan,jelasnya si penjual tersebut merupakan pendakwa berdasarkan peningkatan harga yang dibuat,dan menafikan hak si pembeli dari menerima barang tersebut selepas sudah dibayar RM 90,dan si pembeli itu pula merupakan orang yang menafikan peningkatan harga yang dibuat oleh si penjual sebanyak RM 10 dan dia juga merupakan pendakwa kerana dia mendakwa haknya menerima barang tersebut selepas membayar RM 90,maka kedua-dua belah pihak merupakan penafi,maka kedua-dua mereka perlu mengangkat sumpah.

(6.2) Hukum yang bersifat Kulli iaitu hukum yang menyeluruh melarang jualbeli yang mendahulukan bayaran dan melambatkan memiliki barang jualan,tetapi jika dipandang secara Istihsan (hukum yang bersifat terkecuali) ianya dibolehkan memandangkan keperluan manusia yang berhajat jualbeli sebegitu,contoh : tempahan menjahit,yang mana didahulukan bayaran tetapi dilambatkan mendapat barang tempahan tersebut. (Ilmu Usul Feqh oleh As-Syeikh Abdul Wahab Khalaaf)

(7) Feqh Iftiradhi : Suatu bentuk ijtihad di dalam feqh yang meletakkan hukum syarak terhadap sesuatu kejadian yang belum pun berlaku ketika itu,yang mana pengamalnya akan menjangkakan kejadian-kejadian yang belum pun berlaku lagi seterusnya mencari penyelesaian terhadap jangkaan-jangkaan tersebut.

( 8 ) Fuqaha’ Hijaz : ataupun Madrasah Ahlul hadith di Madinah Al-Munawwarah,yang mana Imam Malik merupakan imam institusi ini,dan diantara syeikh-syeikh institusi ini yang awal ialah : Zaid Bin Tsabit dan Abdullah Bin Umar radiallahu anhuma,yang mana Abdullah Bin Umar ini merupakan insan yang teramat kuat berpegang dengan sunnah rasulullah sallallahu alahi wassalam,pendekatan golongan ini ialah apabila mereka disoal tentang sesuatu masalah,jika mereka mengetahui sesuatu ayat Al-Quran atau hadith nabi maka mereka akan berfatwa,jika tiada,mereka akan mendiamkan diri,dan mereka akan berfatwa terhadap kejadian-kejadian yang hanya berlaku di ketika itu sahaja tanpa membuat sebarang jangkaan kepada kejadian yang belum berlaku.

Berkatanya As-Syakbi : Apa-apa yang datang dari para sahabat nabi itu kepada kamu maka ambillah,tetapi jika ianya hanya pendapat peribadi mereka maka lemparkanlah kata-kata mereka itu di tempat buang hajat ( jamban)

(9) Zahirul riwayat : enam buah kitab pengumpulan riwayat oleh Muhammad Bin Al-Hasan yang diriwiyatkan oleh para ashab hanafi,iaitu 3 orang imam besar mazhab hanafi iaitu imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad Bin Al-Hasan dan ada juga Zufar Bin Huzail dan Hasan Bin Ziyad,yang mana kebanyakkanya merupakan riwayat pendapat 3 orang imam besar ini di dalam enam buah kitab kepunyaan Muhammad Bin Al-Hasan ini,yang mana keenam-enam kitab ini merupakan sumber utama mazhab ini.

(10) Mukhtasar :ringkasan yang menyatakan hanya perkara-perkara yang raajih (yang kuat) daripada perkara-perkara yang bercangah.

HIDUPLAH PERJUANGAN ISLAM SELAMANYA…

“Barangsiapa yang ingin copy dan paste terjemahan ini hendaklah dia meminta izin dengan tuan blog ini,masuk rumah orang perlu ada tatatertib dan adab-adabnya..”