Catatan: Quran dan Sunnah
PERTANYAAN:
Bolehkah
menjadikan anak orang lain sebagai anak angkat dalam keluarga kita di
mana kita menganggapnya seperti anak sendiri? Lalu bagaimana hijab
dengannya bila si anak sudah baligh?
JAWAPAN:
Asy-Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullahu menjawab permasalahan
yang seperti ini dengan pernyataan beliau, “Dahulu di jaman jahiliah,
orang-orang yang mengangkat anak memperlakukan anak angkat mereka
seperti anak mereka yang hakiki atau seperti anak kandung dari segala
sisi; dalam hal warisan, dalam hal bolehnya anak angkat tersebut
berkhalwat (bersepi-sepi) dengan istri mereka, dan dianggapnya istri
mereka sebagai mahram bagi anak angkat tersebut.
Adalah
Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, maula Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, di masa sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat
sebagai nabi, dipanggil dengan Zaid bin Muhammad (karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai anak). Maka Allah
‘Azza wa Jalla berkehendak untuk menghapuskan semua anggapan orang-orang
jahiliah tersebut berkaitan dengan anak angkat. Datanglah syariat Islam
dalam masalah anak angkat ini berikut hukum-hukumnya yang tegas
sebagaimana tersebut berikut ini:
1.
Menghapus dan melarang adanya anak angkat yang dianggap sebagai anak
yang hakiki dalam segala sisi, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَمَا
جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ۚذَٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ
بِأَفْوَاهِكُمْ ۖ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ
تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
“Dan
Allah sekali-kali tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak
kandung kalian sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di
mulut kalian saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu)
dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi
Allah. Dan jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka
panggillah mereka sebagai saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula
kalian….” (Al-Ahzab: 4-5)
Dalam
ayat-ayat di atas, Allah ‘Azza wa Jalla menerangkan bahwa ucapan
seseorang kepada anak orang lain dengan “anakku” tidaklah berarti anak
tersebut menjadi anaknya yang sebenarnya yang dengannya ditetapkan
hukum-hukum bunuwwah (anak dengan orangtua kandungnya). Bahkan tidaklah
mungkin anak tersebut bisa menjadi anak kandung bagi selain ayahnya.
Karena, seorang anak yang tercipta dari sulbi seorang lelaki tidaklah
mungkin ia dianggap tercipta dari sulbi lelaki yang lain, sebagaimana
tidak mungkinnya seseorang memiliki dua hati/jantung1. Dan Allah ‘Azza
wa Jalla memerintahkan kita agar mengembalikan penasaban anak-anak
angkat tersebut kepada ayah kandung mereka, bila memang diketahui siapa
ayah kandung mereka. Bila tidak diketahui maka mereka adalah
saudara-saudara kita seagama dan maula kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala
beritakan bahwa yang demikian ini lebih adil di sisi-Nya.
2. Memutuskan
dengan
ayah angkatnya. Hal ini terkandung dalam ayat-ayat yang telah dibawakan
di atas2. Juga disebutkan bahwa dalam perkara hubungan waris antara
anak angkatanak angkat, Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat:
وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ
“Dan jika ada orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya3.” (An-Nisa’: 33)
Ibnu Jarir rahimahullahu mengeluarkan riwayat dari Sa’id ibnul Musayyab rahimahullahu yang menyatakan, “Ayat
ini hanyalah turun terhadap orang-orang yang dulunya menganggap anak
pada selain anak kandung mereka dan mereka memberikan warisan terhadap
anak-anak angkat tersebut. Maka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat
dalam perkara mereka. Untuk anak-anak angkat, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berikan bagian dari harta (orangtua/ayah angkat mereka) dalam bentuk
wasiat4, sementara warisan dikembalikan kepada yang berhak dari kalangan
dzawil arham5 dan ‘ashabah6. Allah ‘Azza wa Jalla meniadakan adanya hak
waris dari orangtua angkat untuk anak angkat mereka, namun Allah ‘Azza
wa Jalla tetapkan adanya bagian harta untuk anak angkat tersebut dalam
bentuk wasiat.”7
زَوْجَكَ
وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى
النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ ۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ
مِنْهَا وَطَرًا
“Kami
nikahkan dia denganmu agar tidak ada keberatan bagi kaum mukminin untuk
menikahi istri-istri anak angkat mereka apabila anak angkat tersebut
telah menyelesaikan urusan dengan istri-istri mereka (telah bercerai).” (Al-Ahzab: 37)
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam ayat yang menyebutkan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi:
وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ
“…dan istri-istri dari anak-anak kandung kalian….” (An-Nisa’: 23)
Berarti
dikecualikan dalam hukum pengharaman tersebut para istri anak-anak
angkat (boleh dinikahi oleh ayah angkat suaminya bila mereka telah
bercerai).
4.
Keharusan istri ayah angkat untuk berhijab dari anak angkatnya,
sebagaimana ditunjukkan dalam kisah Sahlah bintu Suhail istri Abu
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, tatkala Sahlah datang menemui Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyatakan, “Wahai Rasulullah,
kami dulunya menganggap Salim seperti anak kami sendiri. Sementara Allah
telah menurunkan ayat tentang pengharaman anak angkat bila diperlakukan
seperti anak kandung dalam segala sisi. Padahal Salim ini sudah biasa
masuk menemuiku (tanpa hijab)….”
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam pun menetapkan kepada Sahlah
ketidakbolehan ikhtilath dengan anak angkat setelah turunnya ayat
Al-Qur’an tersebut. Jalan keluarnya, beliau menyuruh Sahlah agar
memberikan air susunya kepada Salim, dengan lima susuan yang dengannya
ia menjadi mahram bagi Salim (yakni sebagai ibu susu, pent.)
5.
Ancaman yang ditekankan dan peringatan yang keras bagi orang yang
menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya. Dalam hal ini ada ayat
Al-Qur’an yang di-mansukh (dihapus) bacaannya namun hukumnya tetap
berlaku, yaitu:
وَلَا تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ
“Dan
janganlah kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian
karena sungguh itu adalah kekufuran bila kalian benci (untuk bernasab)
dengan bapak-bapak kalian.”
Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
كُنَّا نَقْرَأُ: وَلاَ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ
Kami
dulunya membaca ayat: “Dan janganlah kalian benci (untuk bernasab)
dengan bapak-bapak kalian karena sungguh itu adalah kekufuran bila
kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian.”
Dalam hadits yang shahih dinyatakan:
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيْهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Siapa
yang mengaku-aku bernasab kepada selain ayahnya dalam keadaan ia tahu
orang itu bukanlah ayah kandungnya maka surga haram baginya.”8
Tersisa
sekarang dua perkara dalam masalah menyebut anak pada selain anak
kandung dan penasaban kepada selain ayah kandung. Kita akan sebutkan
berikut ini:
Pertama: Apabila
seseorang memanggil seorang anak dengan panggilan/sebutan ‘anakku’
(padahal bukan anaknya yang sebenarnya) untuk memuliakan dan menyatakan
kecintaannya kepada si anak, hal ini tidaklah termasuk dalam larangan
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i,
dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
قَدَّمَنَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُغَيْلِمَةَ بَنِي
عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عَلَى حُمُرَاتٍ لَنَا مِنْ جَمْعٍ، فَجَعَلَ يَلْطَخُ
أَفْخَاذَنَا
وَيَقُوْلُ: أُبَيْنـِيَّ –تَصْغِيرُ ابْنِي– لاَ تَرْمُوا
الْجُمْرَةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
(Pada
malam Muzdalifah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengedepankan kami anak-anak kecil dari Bani Abdil Muththalib (lebih
awal meninggalkan tempat tersebut/tidak mabit, pent.) di atas
keledai-keledai kami. Mulailah beliau memukul dengan perlahan paha-paha
kami seraya berkata, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian melempar jumrah sampai matahari terbit.”9
Ini dalil yang jelas sekali, karena Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika hajjatul wada’ (haji wada’) berusia sepuluh tahun.
Kedua:
Orang yang sudah terlalu masyhur dengan sebutan yang mengandung
penasaban kepada selain ayahnya, seperti Al-Miqdad ibnu ‘Amr
radhiyallahu ‘anhu yang lebih masyhur dengan Al-Miqdad ibnul Aswad, di
mana hampir-hampir ia tidak dikenal kecuali dengan penasaban kepada
Al-Aswad ibnu Abdi Yaghuts yang di masa jahiliah mengangkatnya sebagai
anak, maka ketika turun ayat yang melarang penasaban kepada selain ayah
kandung, disebutlah Al-Miqdad dengan ibnu ‘Amr. Namun penyebutannya
dengan Al-Miqdad ibnul Aswad terus berlanjut, semata-mata sebagai
penyebutan bukan dengan maksud penasaban. Yang seperti ini tidak apa-apa
sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Qurthubi, dengan alasan yang
disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu bahwa tidak pernah
didengar dari orang terdahulu yang menganggap orang yang dipakaikan
baginya sebutan tersebut telah berbuat maksiat.10”. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Fatawa
wa Rasa’il Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh,
9/21-25, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal.
889-891)
Catatan kaki:
1 Awal ayat di atas berbunyi:
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati/jantung dalam rongganya….” (Al-Ahzab: 4)
2 Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam ayat ke 6 surah Al-Ahzab:
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ
“Dan
orang-orang yang memiliki hubungan darah satu sama lain lebih berhak
(waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin (yang
lain yang tidak punya hubungan darah) dan orang-orang Muhajirin….”
3 Awal ayat ini adalah:
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya….”
4 Wasiat di sini tidak lebih dari 1/3 harta si mayit.
5 Dzawil arham adalah semua kerabat mayit yang tidak mendapat bagian fardh dan ta’shib dari harta warisan.
Ahli waris terbagi dua:
–
Ada yang mendapat bagian warisan dengan fardh yaitu ia mendapat bagian
yang tertentu kadarnya, seperti setengah atau seperempat.
– Ada yang mendapat bagian warisan dengan ta’shib yaitu kadarnya dari warisan tidak ada penentuannya.
6
‘Ashabah adalah kerabat mayit yang mendapat bagian dari harta warisan
tanpa ada batasan tertentu, bahkan bila dia cuma sendirian, dia berhak
mendapat semua harta si mayit.
7 Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, 4/57.
8 HR. Al-Bukhari no. 4326 dan Muslim no. 217.
9 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
10 Tafsir Al-Qurthubi, 14/80.