Khamis, 10 Februari 2011

ADAB BERDAKWAH DALAM ISLAM

DAKWAH


Pertama : Ikhlas di dalam dakwah

Ikhlas di dalam dakwah ke jalan Alloh Azza wa Jalla merupakan adab yang paling agung dan merupakan esensi dakwah serta merupakan pondasi keberhasilan amal dakwah. Dakwah ke jalan Alloh adalah ibadah untuk bertaqorrub (mendekatkan diri) kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya suatu ibadah. Alloh Ta’ala berfirman :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَدِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (QS al-Bayyinah : 5)

Maka wajib bagi setiap da’i supaya mengikhlaskan dakwahnya hanya kepada Alloh, janganlah ia beramal atas dasar riya’ (pamer agar dilihat orang) dan sum’ah (pamer agar didengar orang), dan jangan pula untuk mengambil dunia dan reruntuhan yang fana (tidak kekal) lagi akan lenyap. Namun hendaklah lisannya senantiasa mengucapkan :

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ

“Katakanlah: Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah.” (QS al-Furqon : 57)

Maka janganlah ia di dalam dakwahnya mencari bagian (harta), kedudukan dan jangan pula syuhroh (popularitas), namun wajib baginya beramal hanya mengharapkan wajah Alloh Ta’ala semata.

Kedua : Ilmu

Wajib bagi para da’i untuk menuntut ilmu yang bermanfaat, yang diwariskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Hendaklah ia berdakwah di atas bashiroh (keterangan yang jelas), karena Alloh berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia :

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَاأَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah: Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS Yusuf : 108)

Alloh sendiri telah menetapkan di dalam kitab-Nya yang mulia tentang pentingnya bagi para du’at untuk mempelajari ilmu syar’i, sebagaimana dalam firman-Nya Ta’ala :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS at-Taubah : 122)

Apabila Ilmu syar’i itu wajib bagi setiap muslim, hanyasaja kewajibannya lebih ditekankan dan diharuskan lagi bagi da’i, dikarenakan perkaranya tidak dikhususkan hanya melulu kepadanya, namun juga kembali kepada selainnya. Oleh karena itu, seorang haruslah berupaya memahami tingkatan yang memadai tentang hakikat Islam dan hukum-hukum syariat, sehingga manusia menjadi yakin dengan ilmunya dan menerima dakwahnya.

Ketiga : Mengamalkan Ilmu

Hal ini termasuk perkara yang penting di dalam kehidupan seorang da’i. Seorang da’i tanpa amal bagaikan seorang pemanah tanpa busur. Karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala sendiri telah mencela orang-orang yang berupaya melakukan perbaikan terhadap manusia namun melupakan diri mereka sendiri. Alloh Ta’ala berfirman :

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ


“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS al-Baqoroh : 44)

Dan firman-Nya Subhanahu :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS ash-Shaff : 2-3)

Apabila seorang da’i adalah orang yang shalih (lurus) dan mustaqim (jujur) terhadap dirinya sendiri, maka manusia akan bersegera menerima ucapannya dan mendengar perkataannya, serta ia akan menjadi orang yang berpengaruh terhadap masyarakat.

Keempat : Mendahulukan yang prioritas

Sesuatu yang pertama kali diserukan oleh para rasul ‘alaihim ash-Sholatu was Salam adalah dakwah kepada aqidah shahihah, karena aqidah shahihah merupakan pondasi. Alloh Ta’ala berfirman :

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku”.” (QS al-Anbiya’ : 25)

Apabila aqidah telah lurus, mereka menyeru kepada perkara-perkara agama lainnya, baik berupa perkara-perkara yang fardhu (wajib), nafilah (sunnah), adab dan selainnya. Untuk itu wajib bagi setiap da’i supaya mendahulukan yang prioritas di dalam dakwahnya, dan yang demikian ini merupakan sebab-sebab diperolehkan kesukesan di dalam dakwah,

Kelima : Sabar

Sabar merupakan penopang yang paling kuat bagi seorang da’i yang sukses. Seorang da’i itu membutuhkan kesabaran sebelum, ketika dan setelah berdakwah. Dengan inilah Alloh memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, Ia berfirman :

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُوْلُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ

“Bersabarlah kamu sebagaimana bersabarnya ulul azmi dari para rasul.”

Sabar di dalam dakwah kedudukannya bagaikan kepala terhadap jasad. Maka tidak ada dakwah bagi orang yang tidak memiliki kesabaran sebagaimana tidak ada jasad bagi orang yang tidak memiliki kepala.

Seorang da’i haruslah bisa bersabar atas dakwahnya dan terhadap apa yang ia dakwahkan, karena dakwah ke jalan Alloh adalah jalan yang dipenuhi dengan kesukaran-kesukaran dan kesulitan-kesulitan. Seorang da’i, ia pasti akan menghadapi berbagai bentuk gangguan, hinaan dan cercaan, apabila ia sabar terhadapnya, maka ia adalah seorang imam yang patut diteladani, Alloh Ta’ala berfirman :

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (QS as-Sajdah : 24)

Telah ada pada kekasih kita Shallallahu ‘alaihi wa Sallam uswah hasanah (panutan yang baik) bagi diri kita, beliau telah melangsungkan dakwahnya selama 23 tahun, berdakwah menyeru kepada Alloh siang dan malam, secara diam-diam maupun terang-terangan. Namun, tidak ada satupun yang dapat memalingkan beliau dari dakwahnya dan tidak ada pula yang dapat mengehentikan upaya beliau.

Beliau mendapatkan berbagai kesulitan dan gangguan dari kaumnya, sampai-sampai gigi seri beliau patah dan pipi beliau terluka serta pedang telah dihunuskan pada dada beliau, namun beliau tetap bersabar dengan kesabaran yang belum pernah nabi sebelum beliau mengalaminya. Beliau senantiasa menyebarkan agama Alloh dan menegakkan jihad terhadap musuh-musuh Alloh, bersabar atas segala gangguan yang menimpa beliau, sehingga Alloh kokohkan kedudukan beliau di bumi dan Alloh menangkan agama beliau dari semua agama serta Alloh menangkan umat beliau dari seluruh ummat.

Keenam : Berakhlak yang baik

Diantara bentuk akhlak yang baik adalah penuh kasih sayang, kelemahlembutan, keramahan, wajah yang berseri-seri, tawadhu’ (rendah diri) dan tutur kata yang halus. Alloh Azza wa Jalla telah menyanjung panutan para du’at Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam firman-Nya :

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Sungguh pada dirimu terdapat perangai yang agung.”

Dan kita memiliki tauladan yang baik pada diri beliau Shallallahu ’alaihi wa Salam. Betapa banyak orang yang masuk islam disebabkan oleh kelemahlembutan, kemuliaan dan sifat pengasih beliau padahal dahulunya mereka adalah orang yang berada di atas kejahiliyahan, lalu menjadi sahabat mulia yang berperangai baik.

Siapa saja dari para du’at yang tidak berperangai dengan akhlak yang baik, maka ia akan menyebabkan manusia lari darinya dan dari dakwahnya. Karena tabiat manusia itu, mereka tidak mau menerima dari orang yang suka mencela dan menunjukkan pendiskreditan terhadap mereka, walaupun yang diucapkan orang itu adalah benar tanpa ada kebimbangan sedikitpun. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya yang mulia :

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ

”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS Ali ’Imran : 159)

Ketujuh : Hikmah

Hendaklah dakwah ke jalan Alloh itu dilakukan dengan hikmah dan cara yang baik serta penuh kelemahlembutan ketika menerangkan kebenaran, sebagaimana firman Alloh Ta’ala :

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

”Serulah ke jalan tuhanmu dengan cara yang hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS an-Nahl : 125)

Apabila dakwah ke jalan Alloh dilakukan dengan sikap kasar dan bengis, maka akan lebih banyak memadharatkan ketimbang memberikan manfaat.

Kedelapan : Penuh Perhatian

Wajib bagi seorang da’i memiliki pengetahuan terhadap realita di negeri yang ia berdakwah di dalamnya dan mengetahui kondisi manusia yang ia dakwahi. Untuk itulah ia haruslah mengerti akan permasalahan-permasalahan yang terjadi dan problematika-problematika yang tersebar di masyarakat, sehingga ia menjadi orang yang memiliki pengetahuan yang mantap dan ia dapat memilih cara dakwah yang tepat bagi orang yang didakwahinya dan mengetahui tema-tema pembahasan yang penting bagi mereka.

Kesembilan : Tenang (tidak terburu-buru) dan tatsabbut (verifikasi)

Termasuk ciri utama yang membedakan seorang da’i yang berdakwah ke jalan Alloh Azza wa Jalla adalah, bersikap ta`anni (tenang/tidak terburu-buru) dan tatsabbut (verifikasi/cek dan ricek) terhadap segala perkara yang terjadi dan semua berita yang ada. Maka janganlah dia bersikap tergesa-gesa sehingga menghukumi manusia dengan apa yang tidak ada pada mereka, yang dapat menyebabkan dia menyesal dan bersedih hati diakibatkan sikap ketergesa-gesaannya. Untuk itulah Alloh Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ


”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS al-Hujuraat : 6)

Kesepuluh : Tidak Berputus Asa

Sebagian du’at, apabila orang yang didakwahi tidak menerima dakwah mereka, hal ini menyebabkannya menjadi putus asa dan putus harapan sehingga ia meninggalkan dakwah. Padahal merupakan kewajiban bagi seorang da’i untuk mengetahui bahwa kewajiban atasnya hanyalah menegakkan hujjah dan melepaskan tanggungan (kepada Alloh), sebagaimana yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala sebutkan berkenaan dengan suatu kaum yang mengingkari perbuatan ashabus sabt (yaitu Bani Israil, pent.) yang buruk, Alloh berfirman tentang mereka yang menyatakan :

لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُواْ مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

”Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras? mereka menjawab: Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.” (QS al-A’raaf : 164)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan