Rabu, 22 Ogos 2012

HUKUM MENJUAL DAN MENYEWA ASET WAKAF

 

PENTADBIRAN



Dasar hukum penjualan aset wakaf adalah hadist Abdullah bin Umar di bawah ini:

“Dari Ibnu Umar bahwa Umar bin Khathab mendapat bagian lahan di Khaibar lalu dia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta pendapat Beliau tentang tanah lahan tersebut seraya  berkata: “ Wahai Rasulullah, aku mendapatkan lahan di Khaibar dimana aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih bernilai selain itu. Maka apa yang Tuan perintahkan tentang tanah tersebut? Maka Beliau berkata:

إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا

“ Jika kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya lalu kamu dapat bershadaqah dengan (hasil buah) nya.” Ibnu Umar berkata: Maka Umar menshadaqahkannya (hasilnya), dan wakaf tersebut tidak boleh dijual, tidak dihibahkan dan juga tidak diwariskan,  namun dia menshadaqahkannya untuk para faqir, kerabat, untuk membebaskan budak, fii sabilillah, ibnu sabil dan untuk menjamu tamu. Dan tidak dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya dengan cara yang ma’ruf dan untuk memberi makan orang lain bukan bermaksud menimbunnya.”  (HR Bukhari)
Dalam hal ini ada perbedaanpendapat;

Pendapat Pertama: Boleh menjual wakaf dan atau menariknya kembali. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah. Tetapi murid-muridnya mengingkari hal ini, berkata Abu Yusuf: “Seandainya hadist di atas sampai kepada Abu Hanifah, niscaya dia akan mengikutinya dan akan menarik pendapatnya yang membolehkan penjualan aset wakaf.” (Abdullah Bassam, Taisir al-Allam : 2/ 146)

Pendapat Kedua: Tidak boleh menjual wakaf sama sekali, walaupun diganti dengan yang lebih baik atau lebih banyak manfaatnya, selama aset wakaf tersebut tidak terputus manfaatnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Syafi’i(Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab : 9/245), dan riwayat dari Imam Ahmad.

Dalil Pertama: Hadist Umar di atas.

Dalil Kedua: Jika dibolehkan untuk ditukar dengan yang lain, hal itu akan menimbulkan kerusakan dimana-mana, karena setiap Nadhir wakaf, dengan mudahnya menjual benda wakaf dan menukarnya dengan yang lain, yang menurutnya lebih baik. Jika ini terjadi, maka akan sulit mengontrolnya, maka hal ini dilarang untuk mencegah terjadinya kerusakan tersebut.

Dalil ketiga: Hal ini seperti apa yang difatwakan oleh Imam Malik, ketika  Khalifah Harun Rasyid memintanya izin untuk membongkar Ka’bah dan dikembalikan kepada pondasi yang pernah dibangun Nabi Ibrahim, maka Imam Malik melarangnya dan mengatakan, “Jangan sampai Ka’bah engkau jadikan sebagai permainan para raja.”  Padahal tujuan Khalifah Harun Rasyid adalah kebaikan. (Utsaimin, Syarh Bulughul Maram, hlm : 4/ 54)

Tetapi dalam madzhab Maliki sendiri dibolehkan menjual tanah atau rumah wakaf jika terkena pelebaran masjid, jalan atau kuburan umum, sebagaimana disebutkan dalam buku Hasyiat ad-Dasyuqi: 3/365.

Pendapat Ketiga: Boleh menjual wakaf jika manfaatnya hilang, atau wakaf tidak berfungsi lagi, seperti masjid yang roboh, atau masyakat sekitar masjid tersebut pindah tempat, sehingga tidak ada yang memanfaatkan masjid tersebut . Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat lain.(Utsaimin, Syarh Bulughul Maram, hlm : 4/ 54, Utsaimin, Syarh al Mumti’: 4/470)

Adapun dalilnya sebagai berikut :

Dalil Pertama: Atsar Umar bin Khattab ketika sampai kepadanya berita bahwa Baitul Maal di Kufah telah rusak, maka beliau memerintahkan Saad bin Abi Waqqas gubernur Kufah untuk memindahkan masjid  yang berada di Tamarin, dan memindahkan Baitul Maal di depan masjid. (Abdullah Bassam, Taudhuh al-Ahkam : 3/ 416)

Peristiwa ini diketahui oleh para sahabat, dan tidak ada satupun dari mereka yang menolaknya, hal  ini menunjukkan adanya kesepakatan mereka.

Dalil Kedua: Bahwa Syariah Islam selalu memperhatikan maslahat dan menghilangkan mafsadah. Jika dengan menjual aset wakaf dan menggantikan dengan lainnya membawa masalahat yang lebih banyak dan mengurangi kerusakan yang ada, maka hal itu dibolehkan karena sesuai dengan ruh Syariah Islam.

Berkata Ibnu Taimiyah, “ Jika kebutuhan mendesak, maka wakaf tersebut wajib diganti dengan yang sama, jika tidak ada kebutuhan mendesak, dibolehkan menggantikannya dengan yang lebih baik, hal itu karena ada maslahat yang hendak dicapai.”

Berkata Ibnu Uqail, “Wakaf itu sifatnya langgeng, jika tidak bisa melanggengkannya secara khusus (karena rusak dan yang lainnya), maka paling tidak kita menjaga maksud (dari wakaf itu sendiri), yaitu pemanfaatan yang terus menerus dengan barang lain, yaitu dengan cara diganti, karena kalau tetap mempertahankan aset wakaf yang sudah tidak berfungsi lagi, justru malah tidak sesuai dengan tujuan (wakaf) itu sendiri.” (Abdullah Bassam, Taisir al-Allam: 2/ 146).

Dalil Ketiga: Meng-qiyaskan kepada hadist yang membolehkan seseorang merubah nadzarnya kepada nadzar yang lebih baik.

“Dari Jabir n bahwa ada seseorang berkata pada waktu penaklukan kota Mekkah: Wahai Rasulullah, aku telah bernadzar bila Allah menaklukan kota Mekkah kepada baginda, aku akan sholat di Baitul Maqdis. Beliau bersabda, “Sholatlah disini.” Orang tersebut bertanya lagi dan beliau bersabda, “Sholatlah disini.” Orang itu masih bertanya lagi, maka beliau bersabda: “Kalau begitu, terserah engkau.” (HR Ahmad dan Abu Daud, dan dishahihkan oleh Hakim)

Jika nadzar saja bisa diubah dengan yang lebih baik, begitu juga wakaf, boleh dirubah dengan yang lebih baik.

Pendapat ketiga ini lebih kuat, karena sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin. Untuk menghindari adanya penyelewengan, ketika menjual dan menggantikan dengan yang lebih baik, harus di bawah pengawasan pemerintah atau lembaga sosial yang dapat dipercaya.

Adapun menyewakan benda wakaf, sampai sekarang penulis belum menemukan satupun  ulama yang mengharamkan, artinya semua ulama membolehkannya. Hanya saja, sebagian ulama menyaratkan, tidak boleh disewakan dalam jangka waktu yang lama karena bisa berpindah tangan tanpa disadari jika tak ada bukti yang kuat.

Kesimpulan : Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa boleh menjual wakaf dan menggantikannya dengan yang lebih baik, jika hal tersebut maslahatnya lebih besar sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri. Begitu juga boleh menyewakan wakaf dengan tujuan pengembangan wakaf itu sendiri. Hendaknya pewakaf atau nadhir wakaf memilih penyewaan yang menguntungkan untuk pengembangan wakaf dan menghindari penyewaan yang jangkanya lama, kecuali jika keuntungannya bisa diprediksi dan bisa dijaga keutuhan dan keselamatan aset wakaf tersebut. Wallahu A’lam.

Selasa, 21 Ogos 2012

KAIFIAT PUASA SUNAT SYAWAL

 IBADAH

 Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

 

Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan dan Dilakukan di Awal ?



Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun …..…jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.

Oleh karena itu, boleh saja seseorang berpuasa syawal tiga hari setelah Idul Fithri misalnya, baik secara berturut-turut ataupun tidak, karena dalam hal ini ada kelonggaran. Namun, apabila seseorang berpuasa syawal hingga keluar waktu (bulan Syawal) karena bermalas-malasan maka dia tidak akan mendapatkan ganjaran puasa syawal.

Catatan: Apabila seseorang memiliki udzur (halangan) seperti sakit, dalam keadaan nifas, sebagai musafir, sehingga tidak berpuasa enam hari di bulan syawal, maka boleh orang seperti ini meng-qodho’ (mengganti) puasa syawal tersebut di bulan Dzulqo’dah. Hal ini tidaklah mengapa. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 3/466)

Tunaikanlah Qodho’ (Tanggungan) Puasa Terlebih Dahulu

Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah.

Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” Jadi apabila puasa Ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.

Apabila seseorang menunaikan puasa Syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)

Catatan: Adapun puasa sunnah selain puasa Syawal, maka boleh seseorang mendahulukannya dari mengqodho’ puasa yang wajib selama masih ada waktu lapang untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa.

Tetapi perlu diingat bahwa menunaikan qodho’ puasa tetap lebih utama daripada melakukan puasa sunnah. Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -semoga Allah merahmati beliau- dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’, 3/89 karena seringnya sebagian orang keliru dalam permasalahan ini.

Kita ambil permisalan dengan shalat dzuhur. Waktu shalat tersebut adalah mulai dari matahari bergeser ke barat hingga panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Kemudian dia shalat di akhir waktu misalnya jam 2 siang karena udzur (halangan).

Dalam waktu ini bolehkah dia melakukan shalat sunnah kemudian melakukan shalat wajib? Jawabnya boleh, karena waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa.

Namun hal ini berbeda dengan puasa syawal karena puasa ini disyaratkan berpuasa ramadhan untuk mendapatkan ganjaran seperti berpuasa setahun penuh. Maka perhatikanlah perbedaan dalam masalah ini!

Boleh Berniat di Siang Hari dan Boleh Membatalkan Puasa Ketika Melakukan Puasa Sunnah

Permasalahan pertama ini dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemui keluarganya lalu menanyakan:
“Apakah kalian memiliki sesuatu (yang bisa dimakan, pen)?” Mereka berkata, “tidak” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau begitu sekarang, saya puasa.”

Dari hadits ini berarti seseorang boleh berniat di siang hari ketika melakukan puasa sunnah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terkadang berpuasa sunnah kemudian beliau membatalkannya sebagaimana dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha dan terdapat dalam kitab An Nasa’i. (Lihat Zadul Ma’ad, 2/79)

Semoga dengan sedikit penjelasan ini dapat mendorong kita melakukan puasa enam hari di bulan Syawal, semoga amalan kita diterima dan bermanfaat pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shohbihi wa sallam.

KEUTAMAAN PUASA SYAWAL

KEUTAMAAN PUASA ENAM HARI DI BULAN SYAWAL

Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu 'anhu meriwayatkan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun . (HR. Muslim).

Imam Ahmad dan An-Nasa'i, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi shallallahu 'alaihi wasalllam bersabda:

"Puasa Ramadhan (ganjarannya) sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka itulah bagaikan berpuasa selama setahun penuh." ( Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam "Shahih" mereka.)

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Barangsiapa berpuasa Ramadham lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama setahun. " (HR. Al-Bazzar) (Al Mundziri berkata: "Salah satu sanad yang befiau miliki adalah shahih.")

Pahala puasa Ramadhan yang dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal menyamai pahala puasa satu tahun penuh, karena setiap hasanah (tebaikan) diganjar sepuluh kali lipatnya, sebagaimana telah disinggung dalam hadits Tsauban di muka.

Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfaat, di antaranya :

1. Puasa enam hari di buian Syawal setelah Ramadhan, merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.

2. Puasa Syawal dan Sya'ban bagaikan shalat sunnah rawatib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidak sempurnaan, maka hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.

3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah Ta'ala menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya.

 Sebagian orang bijak mengatakan: "Pahala'amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya." Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama.

Demikian pula sebaliknya, jika seseorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.

4. Puasa Ramadhan -sebagaimana disebutkan di muka- dapat mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lain. Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari Raya'ldul Fitri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa.

Oleh karena itu termasuk sebagian ungkapan rasa syukur seorang hamba atas pertolongan dan ampunan yang telah dianugerahkan kepadanya adalah dengan berpuasa setelah Ramadhan.

Tetapi jika ia malah menggantinya dengan perbuatan maksiat maka ia termasuk kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran. Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi, maka puasanya tidak akan terkabul, ia bagaikan orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali. Allah Ta'ala berfirman:

"Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali "(An-Nahl: 92)

5. Dan di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup.

Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fi sabilillah lantas kembali lagi. Sebab tidak sedikit manusia yang berbahagia dengan berlalunya Ramadhan sebab mereka merasa berat, jenuh dan lama berpuasa Ramadhan.

Barangsiapa merasa demikian maka sulit baginya untuk bersegera kembali melaksanakan puasa, padahal orang yang bersegera kembali melaksanakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah puasa, ia tidak merasa bosam dan berat apalagi benci.

Seorang Ulama salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya pada bulan Ramadhan tetapi jika Ramadhan berlalu mereka tidak bersungguh-sungguh lagi, beliau berkomentar:

"Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah secara benar kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang shalih adalah yang beribadah dengan sungguh-sunggguh di sepanjang tahun."

Oleh karena itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu mempercepat proses pembebasan dirinya dari tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal, dengan demikian ia telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal.

Ketahuilah, amal perbuatan seorang mukmin itu tidak ada batasnya hingga maut menjemputnya. Allah Ta'ala berfirman :

"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) " (Al-Hijr: 99)

Dan perlu diingat pula bahwa shalat-shalat dan puasa sunnah serta sedekah yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala pada bulan Ramadhan adalah disyari'atkan sepanjang tahun, karena hal itu mengandung berbagai macam manfaat, di antaranya; ia sebagai pelengkap dari kekurangan yang terdapat pada fardhu, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba-Nya, sebab terkabulnya doa, demikian pula sebagai sebab dihapusnya dosa dan dilipatgandakannya pahala kebaikan dan ditinggikannya kedudukan.

Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan, shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu ke haribaan Nabi, segenap keluarga dan sahabatnya.

Khamis, 16 Ogos 2012

SUNNAH DAN ADAB MENYAMBUT HARI RAYA

AKHLAK / MORAL


Eid al-Fitri atau Hari Raya Fitrah adalah hari yang disyariatkan umat Islam menyambutnya sebagai hari bergembira dan bersyukur di atas nikmat yang Allah SWT anugerahkan kepada hamba-Nya yang berjaya melakukan ibadat pada bulan Ramadan.Oleh itu untuk mendapatkan kesempurnaan sambutan ini, hendaklah mengikut panduan sunnah Rasulullah SAW menyambut Hari Raya, antaranya ialah;

1. Mandi sebelum keluar menunaikan solat Hari Raya.

Imam Malik meriwayatkan: “Sesungguhnya Abdullah bin Umar akan mandi pada pagi hari Raya al-Fitri sebelum beliau keluar ke tempat solat hari raya.”

Al-Imam al-Nawawi menyebut para ulama‟ telah bersepakat atas sunatnya mandi untuk solat hari raya.

2. Makan sebelum keluar untuk menunaikan solat hari raya ‘Eid al-Fitri dan untuk ‘Eid al-Adha makan selepas solat.

Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari daripada Anas bin Malik katanya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak keluar pada pagi hari Raya al-Fitri, sehinggalah Baginda makan terlebih dahulu beberapa biji tamar dan baginda memakannya dalam jumlah yang ganjil.” [HR Al-Bukhari: 953].

Sekiranya tidak ada tamar, makanlah sesuatu yang harus dimakan. Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani mengulas hadis ini dengan berkata: “Ini kerana untuk mengelakkan (anggapan) adanya tambahan dalam berpuasa, ia juga (petunjuk) bersegera mentaati arahan Allah SWT (untuk tidak berpuasa pada hari tersebut).” [Fath al-Bari: 2/446].

3. Bertakbir pada hari Raya

Takbir hari raya adalah termasuk sunnah yang agung berdasarkan firman Allah SWT: Maksudnya: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakbir mengagungkan Allah atas petunjuknya yang diberikan kepada kamu, supaya kamu bersyukur.” [Al-Baqarah: 185].

Daripada al-Walid bin Muslim katanya: “Aku bertanya kepada al-Auza’ie dan Malik bin Anas tentang menzahirkan takbir pada dua hari raya. Kata mereka berdua: “Ya, adalah Abdullah bin Umar menzahirkan takbir pada hari raya al-Fitri sehinggalah Imam keluar (untuk menunaikan solat raya).”

Waktu bertakbir bagi Hari Raya al-Fitri ialah bermula pada malam raya iaitu setelah tenggelamnya matahari pada hari akhir Ramadan sehingga masuknya imam ke tempat solat untuk solat hari raya.

4. Takbir Hari Raya

Di dalam Musannaf Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih daripada Ibnu Mas‟ud ra. yang bertakbir pada hari Tasyrik.

Kata ulama, “Ada keluasan dalam lafaz takbir ini, mana-mana lafaz boleh dibaca dan amalkan.” Diangkat suara dalam melafazkan takbir bagi lelaki dan tidak bagi perempuan. Ia dilakukan di merata tempat; di masjid, di rumah dan di pasar-pasar.

5. Ucapan Tahniah Pada Hari Raya

Termasuk dalam adab berhari raya ialah menyampaikan ucap tahniah sesama muslim dengan sebarang ucapan yang baik

6. Berpakaian baru/cantik di hari raya

Daripada Jabir katanya: “Nabi SAW mempunyai sehelai jubah yang baginda akan memakainya untuk dua hari raya dan hari Jumaat.” [Sahih Ibnu Khuzaimah: 1765].

Memakai pakaian cantik pada hari raya ini adalah untuk kaum lelaki. Adapun untuk kaum wanita mereka boleh mengenakan pakaian yang biasa (di sebelah luar/atasnya) seperti sabda Nabi SAW: Maksudnya: “Jangan kamu tegah hamba perempuan Allah daripada masjid Allah, tetapi hendaklah kaum wanita keluar dalam keadaan meninggalkan wangian” [HR: Ahmad dan Abu Daud “Sahih”].

Keluar dengan berpakaian biasa di luar dan tidak bertabarruj berhias dan mengenakan wangian yang boleh dihidu baunya oleh lelaki ajnabi. Sekiranya wanita berkumpul dalam kelompok mereka sahaja tidak mengapa untuk berpakaian cantik.

7. Keluar ke tempat solat melalui jalan lain dan balik melalui jalan yang lain.

Daripada Jabir bin Abdillah ra katanya: Maksudnya: “Adalah Nabi SAW, pada hari raya baginda membezakan jalan (pergi dan balik dari solat hari raya).” [Al-Bukhari: 986]
Dikatakan terdapat beberapa hikmah dalam perbuatan ini;

i. Semoga dua jalan yang berbeza tersebut menjadi saksi di hadapan Allah pada hari kiamat nanti. Hal ini kerana bumi akan membicarakan pada hari kiamat apa yang dilakukan di atasnya daripada perkara-perkara yang baik dan jahat.

ii Untuk menzahirkan syiar-syiar Islam.

iii. Untuk menzahirkan zikir kepada Allah SWT.

iv. Untuk mengambil tahu keperluan orang-orang yang memerlukan sebarang bantuan atau untuk menziarahi sanak saudara dan menghubungkan silaturrahim.

8. Solat Hari Raya. Para ulama berbeza pendapat tentang hukum solat hari raya. 

Sebahagian mengatakan hukumnya sunat muakkad/ fardhu kifayah dan fardhu ain (wajib), berdosa bagi sesiapa yang meninggalkannya. Inilah pendapat Mazhab Imam Abu Hanifah, pendapat ini dipilih juga oleh beberapa orang ulama semasa.

Cara-caranya (kaifiyat) Solat Hari Raya.

a- Solat hari raya tidak perlu dilaungkan azan dan iqamah. Ditunaikan sebanyak dua rakaat. Rakaat pertama ada tujuh kali takbir dan rakaat kedua ada lima kali takbir. Hukum bilangan takbir ini adalah sunat bukan wajib. Jika takbir ini tertambah atau terkurang, solat hari raya tetap sah. Sunnah mengangkat tangan ketika takbir-takbir ini kerana thabit daripada para sahabat Nabi SAW.

b-Imam membaca pada rakaat yang pertama surah al-A‟la dan pada rakaat kedua membaca al-Ghasyiah berdasarkan hadis riwayat Muslim, atau membaca surah Qaf pada rakaat pertama dan membaca surah al-Qamar pada rakaat kedua, juga berdasarkan hadis riwayat Muslim. Kedua-dua bacaan ini sahih dari Nabi SAW.

c- Dilakukan solat raya terlebih dahulu diikuti khutbah. Ini berdasarkan hadis Ibnu Abbas katanya:
“Aku menyaksikan Rasulullah SAW menunaikan solat hari raya sebelum khutbah, kemudian baginda berkhutbah.”

d- Menyegerakan solat hari raya dan tidak memanjangkannya. Disunatkan menyegerakan solat hari raya selepas terbitnya matahari (selepas waktu larangan). Ibnu Hajar al-Asqalani telah menukilkan di dalam Fath al-Bari: “Telah sepakat para fuqaha‟ bahawa solat hari raya tidak dilaksanakan sebelum atau ketika terbit matahari, sebaliknya ia dilakukan ketika disunatkan solat sunat.”

9. Keluar dengan berjalan kaki ke tempat solat hari raya.

 Ibnu Majah meriwayatkan daripada Ibnu Umar katanya: “Adalah Rasulullah SAW keluar ke tempat solat Hari Raya dengan berjalan dan baginda pulang darinya juga dengan berjalan.” [Sahih Ibnu Majah “Hasan”]

Kata Ibnu al-Munzir: “Orang yang berjalan kaki ke hari raya (tempat solat hari raya) adalah lebih baik dan lebih hampir kepada maksud tawaduk dan tidak mengapa bagi sesiapa yang berkenderaan.”

Bagi mereka yang uzur atau rumahnya jauh dari musalla / masjid tidak mengapa naik kenderaan.

10. Wanita yang uzur juga keluar menyaksikan solat hari raya. 

Para wanita keluar untuk menunaikan solat hari raya adalah termasuk di dalam sunnah Nabi SAW. Untuk menyaksikan perhimpunan umat Islam dan mendengar nasihat (khutbah).

Daripada Umm Atiyyah katanya: “Kami disuruh oleh Nabi SAW untuk mengeluarkan mereka (semua wanita) pada hari raya al-Fitri dan al-Adha; wanita yang baru baligh atau hampir baligh, wanita haid dan anak dara. Adapun wanita haid diasingkan daripada tempat sembahyang.”

11. Zakat Fitrah. Nabi SAW menyuruh membayar zakat al-Fitr sebelum solat hari raya. 

Harus mengeluarkannya sehari atau dua hari lebih awal. Imam al-Bukhari meriwayatkan: “Adalah mereka (sahabat Nabi SAW) mengeluarkan (zakat al-Fitr) sebelum hari raya sehari atau dua hari.”

Kesalahan yang dilakukan pada hari raya

Pergaulan/ikhtilat yang bebas pada Hari Raya. Ramai dalam kalangan kita telah mengambil mudah akan hal ini. Apabila hari raya datang, mereka menganggap hari raya adalah “hari kebebasan” iaitu hari yang terlepas daripada ikatan agama (agama asing, kita asing). Mereka menganggap hari raya ini merupakn lesen bagi mereka untuk bebas bercampur gaul, bersalaman lelaki dan perempuan yang bukan mahram (Ajnabi: yang halal dinikahi), berpakaian dan berhias sebebasnya bagi perempuan dan rumah-rumah pula dipenuhi dengan alunan muzik dan filem-filem yang melalaikan.

Semoga ‘Eidil-Fitri yang kita sambut pada tahun ini dipenuhi dengan keberkatan dan kebajikan.
http://www.abuanasmadani.com